Studi Baru: Negara-Negara 'Paling Bahagia' di Dunia Punya Sisi Gelap

By Utomo Priyambodo, Rabu, 23 Februari 2022 | 15:00 WIB
Anak-anak muda ini melompat dari papan loncat setinggi lima meter ke pelabuhan Kopenhagen, Denmark. (Cory Richards/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Setiap tahun selalu ada laporan mengenai negara-negara paling bahagia di dunia. Denmark biasanya selalu menempati posisi teratas di daftar ini.

Namun sebuah studi terbaru yang terbit di Scientific Reports menemukan bahwa di negara-negara yang memiliki peringkat tertinggi dalam kebahagiaan nasional, orang-orang juga lebih mungkin mengalami kesejahteraan yang buruk karena tekanan sosial untuk bahagia.

"Jadi tinggal di negara-negara yang lebih bahagia mungkin baik bagi banyak orang. Tetapi bagi sebagian orang, itu bisa berakhir dengan perasaan berlebihan untuk hidup sesuai dengan ekspektasi tersebut, dan memiliki efek sebaliknya," kata Brock Bastian, Professor di Melbourne School of Psychological Sciences, University of Melbourne yang menjadi salah satu peneliti dalam studi baru ini.

"Selama beberapa tahun, para kolega saya dan saya telah meneliti tekanan sosial yang mungkin dirasakan orang untuk mengalami emosi positif dan menghindari emosi negatif," cerita Bastian dalam sebuah tulisannya di The Conversation.

"Tekanan ini juga dikomunikasikan kepada kami melalui sejumlah saluran seperti media sosial, buku swadaya, dan iklan. Akhirnya orang-orang mengembangkan perasaan tentang jenis emosi apa yang dihargai (atau tidak dihargai) oleh orang-orang di sekitar mereka."

"Ironisnya, penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa semakin banyak orang mengalami tekanan untuk merasa bahagia dan tidak sedih, semakin mereka cenderung mengalami depresi," lanjut Bastian.

Penelitian Bastian dan para kolega sebelumnya sebagian besar berfokus pada orang-orang yang tinggal di Australia atau Amerika Serikat. Adapun dalam penelitian terbaru mereka kali ini, mereka ingi tahu tentang bagaimana efek ini mungkin juga terlihat di negara-negara lain.

Kopenhagen, Denmark (Gloria Samantha)

"Untuk studi terbaru kami, kami mensurvei 7.443 orang dari 40 negara tentang kesejahteraan emosional, kepuasan hidup (kesejahteraan kognitif) dan keluhan suasana hati (kesejahteraan klinis). Kami kemudian menimbang ini terhadap persepsi mereka tentang tekanan sosial untuk merasa positif."

"Apa yang kami temukan mengkonfirmasi temuan kami sebelumnya. Di seluruh dunia, ketika orang-orang melaporkan merasakan tekanan untuk mengalami kebahagiaan dan menghindari kesedihan, mereka cenderung mengalami defisit dalam kesehatan mental."

Artinya, orang-orang tersebut mengalami kepuasan yang lebih rendah dengan hidup mereka, lebih banyak emosi negatif, lebih sedikit emosi positif dan tingkat depresi, kecemasan dan stres yang lebih tinggi.

Baca Juga: Ini Alasan Denmark Disebut Sebagai Negara Paling Bahagia

Baca Juga: Suku Zoe, Suku Pedalaman Paling Bahagia Terisolasi dari Dunia Luar

Baca Juga: Indonesia Dinobatkan Jadi Negara Terindah di Dunia oleh Situs Inggris

Menariknya, dalam studi baru ini para peneliti memperoleh data 40 negara dari Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Index), yang dikumpulkan oleh Gallup World Poll. Indeks ini didasarkan pada peringkat kebahagiaan subjektif dari sampel skala besar yang representatif secara nasional.

Data ini memungkinkan para peneliti untuk menentukan bagaimana kebahagiaan keseluruhan suatu bangsa. Berkat data ini, mereka juga dapat mengidentifikasi bahwa tekanan sosial pada individu-individu untuk bahagia, dapat mempengaruhi kesejahteraan individu-individu tersebut.

"Kami menemukan bahwa hubungan itu memang berubah, dan lebih kuat di negara-negara yang berperingkat lebih tinggi dalam Indeks Kebahagiaan Dunia. Artinya, di negara-negara seperti Denmark, tekanan sosial yang dirasakan sebagian orang untuk bahagia terutama memprediksi kesehatan mental yang buruk."

"Itu tidak berarti rata-rata orang tidak lebih bahagia di negara-negara itu – tampaknya memang demikian – tetapi bagi mereka yang sudah merasakan banyak tekanan untuk tetap tegar, tinggal di negara-negara yang lebih bahagia dapat menyebabkan kesejahteraan yang lebih buruk," simpul Bastian.