Preangerstelsel: Saat Kopi jadi Kekuatan Ekonomi di Hindia-Belanda

By Galih Pranata, Selasa, 22 Februari 2022 | 15:00 WIB
Lukisan tentang Daendels yang pernah memerintah di Hindia-Belanda pada 1808 – 1811. Pada 14 Maret 1808, Daendels mengusulkan untuk menciptakan suatu kebijakan, regulasi yang mengatur produksi dan distribusi kopi. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Sejak keberhasilan Javakoffie milik Pieter Engelhard laris manis di pasaran Eropa, pemerintah Hindia-Belanda semakin serius dalam perkembangan onderneming kopi di tanah Priangan (sekarang Jawa Barat).

Fazar Shiddieq Karimil Fathah, menulis dalam skripsinya untuk Universitas Sebelas Maret Surakarta, berjudul Penanaman Kopi Dalam Sistem Preangerstelsel Tahun 1830-1870. Skripsi ini rampung pada 2014.

Fazar menyebutkan bahwa kopi telah menjadi komoditas yang penting di Hindia-Belanda. "Pada masa pemerintahan Daendels, kopi menjadi komoditas utama yang memberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial," tulisnya.

Pada tanggal 14 Maret 1808, Daendels mengusulkan untuk menciptakan suatu kebijakan, regulasi yang mengatur produksi dan distribusi kopi di daerah Batavia, Priangan, dan Cirebon. Ia menyebutnya Preangerstelsel.

"Peraturan tersebut berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyederhanaan dan penyeragaman susunan area kopi berdasarkan regensi (kabupaten) dan ketentuan tentang penyerahan kopi dengan harga yang memadai," jelasnya.

Upaya untuk melancarkan usahanya, pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Daendels, menginisiasi suatu kerjasama dengan penguasa di kalangan kaum bumiputera, khususnya di daerah perkebunan kopi.

Kerjasama yang digagas pemerintah kolonial berupa penyerahan kopi sebagai alat pengganti pajak penduduk bumiputera. Dengan begitu, rakyat tidak perlu membayar pajak kepada pemerintah, hanya perlu menyerahkan kopi sebagai gantinya.

"Kopi yang diserahkan kepada pemerintah dibeli dengan harga 4 ringgit perak perpikulnya dengan berat 225 pon atau setara dengan 112,5 kg," ungkap Fazar.

Pemerintah kolonial mendaku akan menanggung biaya senilai 1,01 ringgit perak untuk setiap pikul dengan berat sekitar 64 kg. Nilai itu digunakan untuk menutupi biaya operasional seperti gaji para bupati dan kepala kebun, pegawai Eropa, supervisor, dan biaya transportasi.

Jelas, pemerintah kolonial meraup sejumlah keuntungan dari hasil kerjasama mereka dengan kaum bumiputera. Menurut Fazar, biaya produksi kopi hanya menelan biaya senilai 5 ringgit perak, sementara harga di pasar internasional harga kopi mencapai 15 ringgit perak.

Soerang petugas Belanda di perkebunan kopi Priangan (Jawa Barat). (KITLV)

Ide lain yang dikerahkan Daendels adalah dengan mengangkat pejabat khusus yang bertugas untuk mengatur penanaman pada onderneming kopi. Pejabat tersebut juga merupakan ahli dalam metode menanam dan memproduksi kopi.