Nationalgeographic.co.id—Melintasi sebuah jalan yang tak begitu besar di daerah Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, terlihat bentangan luas bangunan-bangunan Belanda yang usang dan ditumbuhi tanaman liar, bukti telah lama tak ditinggali.
"Dulu, di sini pabrik karung (goni) besar dari zaman Belanda," ujar Aldi Harum Soleh, seorang pengajar yang tinggal di Klaten, menunjukkannya saat menemani perjalanan penulis melintasi bangunan-bangunan tua Belanda di Delanggu.
Tembok-tembok tua nan kokoh berdiri selama berabad-abad lamanya. Sejarah panjang bangunan Belanda ini banyak dikenal warga Klaten sebagai pabrik karung goni.
Sejatinya, bangunan yang luas ini mulai didirikan sejak dikeluarkannya kebijakan Agrarische Wet di tahun 1870.
"Dalam waktu singkat, puluhan bahkan ratusan pabrik dibangun di Jawa Tengah terutama di wilayah Vorstenlanden (termasuk Klaten) yang memiliki tanah subur dan banyak penduduknya," tulis Riska Fitrianto.
Riska Fitrianto menulis dalam skripsinya yang berjudul Perkembangan Pabrik Karung Goni Delanggu 1934-1968 kepada Universitas Negeri Yogyakarta, yang dipertahankan pada tahun 2017.
Klaten di abad ke-19 hingga 20, menjadi wilayah di Vorstenlanden yang menjadi surga bagi perkebunan tebu, inilah yang mendorong gairah perindustrian tebu, memunculkan pabrik-pabrik gula di banyak tempat di Klaten.
Delanggu, menjadi salah satu kecamatan di Klaten yang memiliki perkebunan tebu yang cukup luas. "Pada 1871 luas perkebunan Delanggu mencapai 404 bau dengan hasil produksinya 16.183 pikul," imbuhnya.
Menurut Riska Fitrianto, depresi ekonomi yang melanda Hindia-Belanda pada tahun 1930 merupakan sebuah gejala perekonomian dunia. Bagi wilayah jajahan seperti Hindia-Belanda keadaan tersebut berlangsung lebih lama dan menimbulkan akibat yang lebih parah.
"Akibatnya pemerintah kolonial Belanda mengalami kerugian besar karena penurunan harga dan kelebihan produksi gula," lanjutnya.
Keadaan yang sulit itu berdampak cukup parah hingga tahun 1933, membuat pabrik gula Delanggu mengalami kebangkrutan sehingga tidak lagi melakukan kegiatan produksi dan akhirnya ditutup.
Memasuki tahun 1934, pemerintah kolonial memanfaatkan lahan-lahan perkebunan tebu yang terbengkalai dengan membudidayakan tanaman rosela (Hibiscus Sabdariffa linn) sebagai bahan utama pembuatan karung goni.
"Setelah beberapa tahun membudidayakan tanaman rosela di Delanggu, baru tahun 1938 untuk pertama kalinya, perusahaan itu menghasilkan karung goni yang siap dipasarkan," tambah Riska.
Pabrik gula yang telah lama tutup, akhirnya hidup kembali untuk memproduksi karung goni yang bersifat komersil. Di dalam kompleks perusahaan, dipekerjakan sejumlah 2.800 orang dari 15.567 orang buruh yang terlibat dalam ikatan kerja dengan perusahaan karung.
"Dari 2.800 orang buruh, dibedakan menjadi tiga golongan dari pekerjaannnya di dalam perusahaan," jelasnya. Tiga golongan itu: pegawai staf administratif, teknisi pabrik, dan pengawas.
Konsentrasi kegiatan usaha di Delanggu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja tersebut diambil dari wilayah Delanggu sendiri. Sekitar 80% dari karyawan pabrik adalah pria, 15% wanita dan 70% dari seluruh karyawan sudah berkeluarga.
Meskipun kenyataannya, secara sosial, keberadaan pabrik karung goni semakin mempertajam kelas-kelas sosial di Delanggu, di mana golongan pegawai memiliki kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh pabrik yang selalu diperah tenaganya.
Baca Juga: Sekelumit Sejarah Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu dari Masa ke Masa
Baca Juga: Zaman Hindia Belanda, Pabrik Gula Dorong Kemajuan Infrastruktur Klaten
Baca Juga: Agrarische Wet dan Dinamika Pola Pemukiman di Surabaya Abad ke-19
Beroperasinya pabrik karung membuat perekonomian masyarakat kembali membaik setelah peristiwa malaise, depresi ekonomi yang memperparah kondisi hidup rakyat Delanggu.
Bagi pemerintah kolonial, Industri karung goni tersebut membantu pemerintah mengurangi pengeluaran devisa untuk impor karung goni dari negara-negara produsen seperti negara Pakistan dan Bangladesh.
Kesuksesan pabrik karung goni Delanggu, menjadikannya sebagai produsen karung goni terbesar, tidak hanya di Hindia-Belanda saja, melainkan di kawasan Asia Tenggara.
Meski berada dalam gairah produksinya yang menguntungkan pemerintah kolonial, Pabrik Delanggu harus ditinggalkan. Kekalahan Belanda atas Jepang, membuat seluruh wilayah Hindia-Belanda jatuh ke tangan pemerintah Jepang.
"Akibatnya, pada awal tahun 1943, perusahaan pabrik karung goni Delanggu diambil alih oleh pemerintah Jepang dan diusahakan sebagai perseroan Nanio Kahatso," pungkas Riska Fitrianto.