Spiral Kematian: Sebuah Lubang Hitam yang Berputar pada Sisinya

By Wawan Setiawan, Selasa, 1 Maret 2022 | 08:00 WIB
Ilustrasi dari sistem biner sinar-X MAXI J1820+070 yang berisi lubang hitam (titik hitam kecil di tengah piringan gas) dan bintang pendamping. Sebuah jet sempit diarahkan sepanjang sumbu spin lubang hitam, yang sangat tidak sejajar dari sumbu rotasi orbit. (R. Hynes)

Nationalgeographic.co.id—Peneliti yang berasal dari University of Turku, Finlandia, telah menemukan bahwa sumbu rotasi lubang hitam dalam sistem biner miring lebih dari 40 derajat relatif terhadap sumbu orbit bintang. Temuan ini jelas sangat menantang model teoretis pembentukan lubang hitam saat ini.

Lubang hitam merupakan objek besar di alam semesta. Seperti semua objek lain yang ada di alam semesta, ia juga berputar. Hal ini dijelaskan oleh besaran kekal yang disebut momentum sudut, di mana memperhitungkan kecepatan massa yang berputar dan jaraknya dari sumbu putaran.

Pengamatan yang dilakukan baru-baru ini oleh para peneliti dari Observatorium Tuorla di Finlandia adalah pengukuran terpercaya pertama yang menunjukkan perbedaan besar antara sumbu rotasi lubang hitam dan sumbu orbit sistem biner. Perbedaan antara sumbu yang diukur oleh para peneliti dalam sistem bintang biner yang disebut MAXI J1820+070 lebih dari 40 derajat.

Seringkali untuk sistem ruang angkasa dengan objek-objek yang lebih kecil yang mengorbit di sekitar benda masif pusat, sumbu rotasi benda ini pada tingkat yang tinggi sejajar dengan sumbu rotasi satelitnya. Hal ini berlaku juga untuk tata surya kita: planet-planet mengorbit mengelilingi Matahari dalam satu bidang, yang kira-kira bertepatan dengan bidang ekuator Matahari. Kemiringan sumbu rotasi Matahari terhadap sumbu orbit Bumi hanya tujuh derajat.

"Harapan keselarasan, sebagian besar, tidak berlaku untuk objek aneh seperti binari sinar-X lubang hitam. Lubang hitam di sistem ini terbentuk sebagai akibat dari bencana alam semesta, yakni  runtuhnya sebuah bintang masif. Kini kita melihat lubang hitam menyeret materi dari dekat, bintang pendamping yang lebih ringan mengorbit di sekitarnya. Kita melihat radiasi optik dan sinar-X yang cerah sebagai hembusan terakhir dari material yang jatuh, dan juga emisi radio dari pancaran relativistik yang dikeluarkan dari sistem." terang Juri Poutanen, Profesor Astronomi di Universitas Turku dan penulis utama studi ini, seperti yang dilaporkan Tech Explorist.

Hasil studinya telah dipublikasikan di jurnal Science pada 24 Februari 2022 berjudul Black hole spin–orbit misalignment in the x-ray binary MAXI J1820 070.

MAXI J1820+070 juga telah diamati pada panjang gelombang radio oleh tim yang dipimpin oleh Joe Bright dari Universitas Oxford, yang sebelumnya melaporkan deteksi gerakan superluminal dari sumber kompak berdasarkan data radio saja yang diperpanjang dari peluncuran jet pada 7 Juli 2018 hingga akhir 20 (NASA/CXC/M.Weiss)

Dalam studi tersebut, para peneliti mengikuti pancaran relativistik yang dikeluarkan dari sistem, sehingga dapat menentukan arah sumbu rotasi lubang hitam dengan sangat akurat. Saat jumlah gas yang jatuh dari bintang pendamping ke lubang hitam kemudian mulai berkurang, sistem meredup, dan sebagian besar cahaya dalam sistem berasal dari bintang pendampingnya. Dengan cara ini, para peneliti dapat mengukur kemiringan orbit menggunakan teknik spektroskopi, dan kebetulan hampir bertepatan dengan kemiringan ejeksi.

“Untuk menentukan orientasi 3D orbit, kita juga perlu mengetahui sudut posisi sistem di langit, artinya bagaimana sistem diputar terhadap arah ke Utara di langit. Ini diukur menggunakan teknik polarimetri, " kata Poutanen.

Hasil yang dipublikasikan di jurnal Science telah membuka prospek menarik terhadap studi tentang pembentukan lubang hitam dan evolusi sistem tersebut, karena ketidaksejajaran ekstrem seperti itu sulit didapat dalam banyak skenario pembentukan lubang hitam dan evolusi biner.

Baca Juga: Cincin Debu Tebal dan Gas Kosmis Sembunyikan Lubang Hitam Supermasif

Baca Juga: Para Astronom Menemukan Lubang Hitam yang Berbeda dari Lainnya