Astronom Menemukan Mekanisme Misterius yang Memicu Aurora Saturnus

By Wawan Setiawan, Rabu, 2 Maret 2022 | 16:00 WIB
Gambar inframerah Saturnus yang menunjukkan aurora pada kutub selatannya, foto ditangkap oleh Pesawat Luar Angkasa Cassini. (NASA, Cassini, VIMS Team, University of Arizona, University of Leicester, JPL, ASI)

Nationalgeographic.co.id—Ilmuwan luar angkasa Leicester telah menemukan mekanisme yang belum pernah dilihat sebelumnya yang memicu aurora planet besar di Saturnus.

Layaknya di Bumi, aurora juga terjadi di planet lain. Di Saturnus, aurora tampaknya sangat jauh berbeda. Mungkin karena atmosfer planet didominasi oleh hidrogen, sehingga tampilan aurora Saturnus hanya dapat dilihat dalam sinar ultraviolet. Sayangnya, banyak sekali pertanyaan seputar aurora ini yang masih belum terjawab, bahkan setelah keberhasilan yang dicetak oleh pesawat luar angkasa Cassini dalam misinya.

Saturnus memang unik di antara planet-planet yang diamati hingga saat ini karena beberapa auroranya dihasilkan oleh angin yang berputar-putar di dalam atmosfernya sendiri, dan bukan hanya dari magnetosfer di sekitar planet itu saja.

Di semua planet lain yang diamati, termasuk Bumi, aurora hanya terbentuk oleh arus kuat yang mengalir ke atmosfer planet dari magnetosfer sekitarnya. Ini didorong oleh interaksi dengan partikel bermuatan dari Matahari (seperti di Bumi) atau material vulkanik yang meletus dari bulan yang mengorbit planet (seperti di Jupiter dan Saturnus).

Temuan ini telah mengubah pemahaman para ilmuwan tentang aurora planet dan menjawab salah satu misteri pertama yang diangkat oleh wahana Cassini NASA, yang mencapai Saturnus pada tahun 2004: mengapa kita tidak dapat dengan mudah mengukur panjang hari di Planet Bercincin ini?

Ketika pertama kali tiba di Saturnus, Cassini mencoba mengukur laju rotasi massal planet, yang menentukan panjang harinya, dengan melacak 'pulsa' emisi radio dari atmosfer Saturnus. Yang sangat mengejutkan, mereka menemukan bahwa laju tampaknya telah berubah selama dua dekade sejak pesawat ruang angkasa NASA Voyager 2 terakhir terbang melewati planet ini pada tahun 1981.

Pilihan pemandangan penuh oval aurora utara dan selatan diperoleh selama fase misi Grand Finale Cassini. Gambar diurutkan berdasarkan waktu pengamatannya. (Bader dkk)

Peneliti University of Leicester bernama Nahid Chowdhury, menerbitkan hasil penelitiannya dalam jurnal Geophysical Research Letters pada 28 Desember 2021. Judulnya, Saturn's Weather‐Driven Aurorae Modulate Oscillations in the Magnetic Field and Radio Emissions. Selain sebagai astronom, dia adalah anggota Planetary Science Group di School of Physics and Astronomy.

Chowdhury berkata, "Laju rotasi internal Saturnus harus konstan, tetapi selama beberapa dekade para peneliti telah menunjukkan bahwa banyak sifat periodik yang terkait dengan planet ini - pengukuran yang telah kami gunakan di planet lain untuk memahami laju rotasi internal, seperti emisi radio—cenderung berubah seiring waktu. Terlebih lagi, ada juga fitur periodik independen yang terlihat di belahan bumi utara dan selatan yang bervariasi selama musim di planet ini.”

"Sungguh mendebarkan untuk dapat memberikan jawaban atas salah satu pertanyaan terlama di bidang kami. Ini kemungkinan akan memulai beberapa pemikiran ulang tentang bagaimana efek cuaca atmosfer lokal pada sebuah planet berdampak pada penciptaan aurora, bukan hanya di Tata Surya kita sendiri, tetapi juga lebih jauh lagi. Studi ini merupakan deteksi pertama dari penggerak fundamental, yang terletak di atmosfer atas planet, yang kemudian menghasilkan periodisitas planet dan aurora yang diamati,” tambahnya.

Gabungan gambar warna asli Saturnus, diamati oleh Cassini pada tahun 2016, dilapis dengan representasi warna palsu dari aurora ultraviolet di belahan bumi utara seperti yang diamati pada 20 Agustus 2017. (NASA / JPL-Caltech / Space Science Institute / A. Bader, Lancaster University)

Para ilmuwan mengukur emisi inframerah dari atmosfer atas raksasa gas ini menggunakan Observatorium Keck di Hawai'i dan memetakan berbagai aliran ionosfer Saturnus, jauh di bawah magnetosfer, selama sebulan pada tahun 2017.