Benarkah Tsar Nicholas II Jadi Sumber Penderitaan Kekaisaran Rusia?

By Sysilia Tanhati, Rabu, 9 Maret 2022 | 12:00 WIB
Tsar Nicholas II mengikuti gaya kepemimpinan ayahnya yaitu otokratis. Namun keterampilannya memerintah jauh dari kemampuan pendahulunya. Pemerintahannya tidak disukai rakyat. Benarkah Tsar Nicholas II merupakan sumber penderitaan bagi Kekaisaran Rusia? (Laurits Tuxen/Hermitage Museum)

Nationalgeographic.co.id—Pangeran Nicholas Alexandrovitch lahir pada tahun 1868, kelak dikenal dengan nama Tsar Nicholas II. Tumbuh dalam lingkungan kekaisaran yang bergelimang harta, masa depannya tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Pada 1 November 1894, ayahnya, Alexander III, meninggal setelah berjuang melawang penyakit ginjal. Nicholas naik ke tahta kekaisaran, menjadi Tsar Nicholas II dan kepala Dinasti Romanov. Ia juga menjadi tsar terakhir dari Kekaisaran Rusia, yang sayangnya mati dengan tragis.

Pemerintahannya tidak disukai rakyat, benarkah Tsar Nicholas II merupakan sumber penderitaan bagi Kekaisaran Rusia?

Rusia sebelum Tsar Nicholas II

Abad ke-19 penuh gejolak bagi Rusia. Setelah kemenangan melawan Napoleon pada tahun 1812, Saint Petersburg menjadi kekuatan utama di Eropa.

Tetapi pengaruh tsar sangat berkurang setelah kekalahan dalam Perang Krimea pada tahun 1856. Tsar yang memerintah pada masa itu adalah Alexander II.

Di tingkat internal, Alexander II menghapus perbudakan pada tahun 1861 dan mempercepat industrialisasi Rusia. Namun, ia tidak dapat memberikan dukungan sosial yang layak untuk budak untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Sosialisme, komunisme, dan anarkisme semakin populer di Rusia. Cita-cita politik tersebut melahirkan gerakan radikal yang penting. Ini pada akhirnya merenggut nyawa Tsar pada tahun 1881.

Putranya, Alexander III, menerapkan kebijakan reaksioner, yang menindas sebagian besar gerakan politik. Terlepas dari kebrutalan metodenya, ia berhasil menstabilkan negara dan mengurangi kerusuhan sosial. Alexander III bergabung dengan Prancis dalam Aliansi Ganda melawan Jerman pada tahun 1891 dan mengejar Ekspansi Rusia di Asia Tengah.

“Keberhasilannya memungkinkan Rusia mendapatkan kembali prestisenya,” tutur Ilyas Benabdeljalil dilansir dari laman The Collector.

Pemimpin yang sembrono

Tsar Nicholas II muda tidak siap untuk memerintah, ia tidak disiapkan oleh sang ayah untuk menjadi seorang tsar.