Bukan dari Cili atau Mesir, Mumifikasi Tertua Berasal dari Eropa

By Ricky Jenihansen, Minggu, 13 Maret 2022 | 09:00 WIB
Dua mumi yang ditemukan di Lembah Sado, Portugal. (Cambridge University)

Nationalgeographic.co.id - Studi baru mengungkapkan bahwa praktik mumifikasi jenazah mungkin lebih umum daripada yang diketahui sebelumnya. Para arkeolog dari Uppsala University, Linnaeus University di Swedia dan University of Lisbon di Portugal menemukan bukti baru di situs pemakaman pemburu-pengumpul di Lembah Sado di Portugal, yang berasal dari 8.000 tahun yang lalu.

Situs tersebut menyajikan bukti baru untuk perawatan pra-penguburan seperti pengeringan melalui mumifikasi, yang belum pernah disarankan untuk Mesolitik Eropa sebelumnya. Hasil studi tersebut telah dipublikasikan di European Journal of Archaeology dengan judul "Mummification in the Mesolithic: New Approaches to Old Photo Documentation Reveal Previously Unknown Mortuary Practices in the Sado Valley, Portugal".

"Analisis, yang menerapkan prinsip-prinsip arkeologi dan diperkaya oleh penelitian taphonomic eksperimental, mengonfirmasi rincian mengenai perawatan mayat dan memberikan wawasan baru tentang penggunaan ruang pemakaman," tulis peneliti dalam laporannya.

Diketahui sebelumnya, temuan mumifikasi tertua yang disengaja diketahui dari pemburu-pengumpul Chinchorro yang tinggal di wilayah pesisir Gurun Atacama di Cili utara. Temuannya tersebut dengan contoh tubuh mumi yang terkubur dalam cangkang kerang sekitar 7.000 tahun yang lalu dengan jaringan lunak yang masih terawetkan. Namun, sebagian besar mumi yang masih hidup di seluruh dunia lebih baru, berusia antara beberapa ratus tahun dan 4.000 tahun seperti mumi yang ditemukan di Mesir.

Mumifikasi pada masa prasejarah merupakan topik yang menantang bagi para peneliti karena sulit untuk mendeteksi apakah tubuh diawetkan melalui mumifikasi ketika jaringan lunak tidak lagi terlihat. Kesulitan lainnya adalah kurangnya laporan tertulis untuk periode awal ini.

Pemandangan dari situs arkeologi Arapouco menuju Lembah Sado, Portugal. (Rita Peyroteo Stjerna)

Tidak seperti tulang, menemukan jaringan lunak di situs arkeologi jarang terjadi karena masalah pelestarian, dan tanpa itu, sulit untuk mengenali apakah sisa-sisa telah dikuratori segera setelah kematian. Hal itu sangat menantang di iklim sedang dan basah, seperti di sebagian besar Eropa, di mana jaringan lunak dan kulit biasanya tidak bertahan di situs arkeologi.

Pada studi ini, para peneliti menggunakan foto-foto yang baru ditemukan dari sisa-sisa kerangka dari tiga belas individu yang digali pada tahun 1960-an di timbunan cangkang Mesolitikum Lembah Sado di Portugal. Mereka dapat merekonstruksi posisi di mana mayat-mayat itu dikubur memberikan kesempatan unik untuk mempelajari lebih lanjut tentang ritual pengambilan mayat 8.000 tahun yang lalu.

Studi ini menggabungkan pendekatan archaeothanatology dengan eksperimen dekomposisi manusia. Archaeothanatology adalah pendekatan yang digunakan oleh arkeolog untuk mendokumentasikan dan menganalisis sisa-sisa manusia di situs arkeologi yang menggabungkan pengamatan distribusi spasial tulang di kuburan dengan pengetahuan tentang bagaimana tubuh manusia membusuk setelah kematian.

Para arkeolog kemudian dapat merekonstruksi bagaimana mayat ditangani setelah kematian dan dikuburkan, bahkan jika beberapa milenium telah berlalu. Dalam studi ini, arkeologi juga diinformasikan oleh hasil dari eksperimen dekomposisi manusia pada mumifikasi dan penguburan di Fasilitas Penelitian Antropologi Forensik di Texas State University.

Selama dekomposisi, tulang biasanya mengalami disartikulasi pada persendian yang lemah, seperti pada kaki. Tetapi dalam kasus ini, artikulasi tetap dipertahankan.

Mumi asal Chili yang sebelumnya disebut tertua di dunia (Reuters)