Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan

By Galih Pranata, Selasa, 15 Maret 2022 | 10:00 WIB
Interior Masjid Sampangan di Surakarta bergaya Jawa-Klasik. (Ahsanudin)

Nationalgeographic.co.id—Percaturan politik Mataram dengan Madura nampaknya sulit terlihat di era modern. Saya menelusuri perjalanan menuju sebuah masjid yang dipercaya masyarakat sekitarnya sebagai tempat persinggahan.

Saya bertemu dengan Ahsanudin, kepala pengurus Masjid Sampangan yang bisa memberikan penjelasan dan manuskrip akan adanya persinggahan rombongan Madura yang kerap bolak-balik urusan politik dengan Keraton Mataram di Yogyakarta.

Berkat adanya catatan dari masyarakat lokal di Desa Sampangan, setidaknya dapat memberikan sedikit penggambaran konkrit tentang hakikat diplomasi Mataram dan Madura yang dimulai sejak abad ke-17.

Catatan yang dibuat berdasarkan kesaksian masyarakat lokal, disimpan dengan baik laiknya manuskrip kuno yang sangat bernilai. HT. Mulyadi adalah penulis manuskrip yang terus diperbaharui hingga tahun 2001.

Mulyadi menulis dalam manuskrip yang tidak dipublikasi, diberi judul Sejarah Singkat Masjid Sampangan, sebagai Catatan Lokal Badan Pengurus Masjid Sampangan Surakarta yang tersimpan rapi dalam etalase rumah kepala pengurus masjid, Bapak Ahsanudin.

Kisah diplomasi politik Mataram yang berpusat di Keraton Yogyakarta, dimulai tatkala Sultan Agung memulai ekspansi dan perluasan wilayah samapi ke Jawa Timur hingga Madura. Perjalanannya sampai hingga ke wilayah Sampang, Madura.

"Pada saat wilayah Sampang berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung, Raden Prasena dijadikan sebagai tawanan perang, yang kemudian oleh Sultan Agung dijadikannya sebagai abdi (dalem) kraton yang harus mematuhi segala peraturan tata krama keraton," tulis Kasdi.

Aminuddin Kasdi menulis dalam bukunya yang berjudul Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-daerah pada periode akhir Mataram (1726-1745), diterbitkan pada 2003.

Raden Prasena merupakan putra mahkota dari Pangeran Tengah, raja kerajaan Arosbaya yang kekuasaannya meliputi Sampang dan beberapa wilayah lainnya di Madura.

"Integritas kerja, loyalitas dan dedikasi yang tinggi yang ditunjukkan oleh Raden Prasena, membuat Sultan Agung luluh, begitu juga dengan seisi istana Mataram yang menaruh simpati padanya," imbuhnya.

Ketulusan hati Raden Prasena mengabdi kepada Mataram, membuatnya dijadikan sebagai anak angkat dari Sultan Agung. Raden Prasena kemudian dipertimbangkan oleh Sultan Agung untuk dijadikan pemimpin Mataram di kawasan Sampang, Madura.

Raden Prasena akhirnya dinobatkan sebagai pemimpin Mataram di Madura pada 23 Desember tahun 1624 M, dengan gelar Pangeran Cakraningrat I, yang penobatannya dilakukan di kerajaan Mataram dengan upacara kebesaran.

Cakraningrat I mendapat mandat sebagai penguasa Madura di bawah pengaruh Mataram, sehingga terjadi hubungan yang erat antara Kraton di Jawa dengan Madura. Kekuasaannya di Sampang, Madura, membuat kendali jarak jauh yang dapat diketahui oleh Mataram yang terletak di Yogyakarta kala itu, sehingga ia kerap pulang-pergi antara Jawa dan Madura.

Abdi dalem Keraton Yogyakarta. (KITLV)

"Mereka yang datang dari Sampang itu memiliki agenda rutin setiap bulan Mulud (penanggalan Kalender Jawa) untuk sowan (berkunjung) kepada penguasa Mataram," tulis HT. Mulyadi dalam manuskrip lokal Masjid Sampangan.

Menurut Olthof dalam Babad Tanah Jawi (1941), semua wilayah yang tunduk kepada Mataram, bermula dari ekspedisi perairan kali Bengawan yang menghubungkan daratan Mataram menuju ke Surabaya hingga ke Madura.

Tak mengherankan jika kunjungan dari pemimpin-pemimpin vassal Mataram, seperti halnya Cakraningrat I dari Sampang, Madura, setiap kali sowan dengan pasukannya ke Mataram, selalu melintasi Bengawan Solo.

"Perjalanan jauh yang melelahkan, membuat orang-orang Sampang itu membutuhkan suatu tempat yang dapat digunakan untuk transit, sekadar mengistirahatkan diri sejenak dari perjalanan jauh," ungkap Ahsanudin, kepala pengurus Masjid Sampangan.

"Mereka menyempatkan diri buat transit dan beristirahat, makanya dibuat rumah panggung dari gedek (anyaman bambu) di pinggiran kali Jenes," lanjutnya.

   

Baca Juga: Hikayat Garam di Pulau Madura, Cermin Pertautan Manusia dan Alam

Baca Juga: Ika Arista dan Kisahnya Menjadi Empu Milenial Asal Sumenep Madura

Baca Juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

    

Alasan pendiriannya lebih karena berada di dekat tempat perahu mereka bersandar, yaitu di bantaran Sungai Jenes, anak Sungai Bengawan Solo di Sampangan, Semanggi, Surakarta.

Menurut catatan yang ditulis Mulyadi, surau kecil tempat transit rombongan Sampang itu berada tepat di sebelah barat dekat areal pemakaman di tepian sungai, dan ditumbuhi tanaman liar yang cukup lebat.

Kebanggaan di antara masyarakat desa di kawasan tempat bersandarnya perahu layar milik Cakraningrat 1 dan pasukannya, mendorong perawatan intensif terhadap surau berbentuk rumah panggung yang telah mereka dirikan.

Kebanggaan ini nampaknya mengilhami penduduk lokal untuk menamai desanya dengan nama Sampangan. Begitu juga pada periode berikutnya, surau milik Cakraningrat I ini yang kemudian menjadi Masjid Sampangan.

"Awalnya masjid ada di pinggir kali Bengawan, terus bergeser agak ke tengah pemukiman warga, sampai akhirnya dipindah lagi ke posisi sekarang, di pinggir jalan raya, berguna buat orang-orang yang mampir salat," tutup Ahsanudin kepada saya.

Sampai wafatnya Cakraningrat I, masjid tersebut tak lagi disinggahi rombongan dari Madura. Namun, kebanggan masyarakatnya, membuat Masjid Sampangan terus terjaga sampai hari ini sebagai saksi adanya hubungan diplomasi Mataram Jawa dan Madura.

Ulasan dalam artikel ini diterbitkan dalam jurnal karya Galih Pranata, Ahmad Rushanfichry dan Moh. Yudik Al Faruq yang berjudul Masjid Sampangan di Surakarta Sebagai Sumber Sejarah Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura Sejak Abad XVII, publikasi 2022.