Media Komunikasi Tradisional Jawa-Bali: Instrumen Kentongan dan Bandhe

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 21 Maret 2022 | 21:00 WIB
Ilustrasi kentongan pada di rumah kayu. Instrumen ini tidak hanya digunakan sebagai alat musik saja, tapi juga sebagai media komunikasi antarwarga. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Otak manusia memahami bunyi alami sebagai suatu pertandam seperti Petir mengisyaratkan cuaca mendung atau sebentar lagi hujan turun, ayam berkokok menandakan hari mulai pagi, gelegar gunung menandakan akan adanya erupsi, dan masih banyak lagi.

Manusia pun berkembang dengan menciptakan bunyinya sendiri lewat lisan dan alat. Lisan menciptakan bahasa, dan alat pun menjadi sarana teknologi komunikasi yang punya makna. Itu sebabnya pada perkembangannya, manusia menciptakan musik dan lagu beserta pemahamannya tentang irama.

Kebudayaan Nusantara memiliki alat musik tradisional yang awalnya berkembang sebagai sarana komunikasi, seperti kentongan dan bandhe.

Kentongan sangat identik dengan penyampaian pesan oleh masyarakat tradisional, khususnya di Pulau Jawa. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul, dan menghasilkan suara yang dikodifikasi oleh masyarakat setempat secara sesama.

Misal, satu kali pukulan dapat diartikan sebagai pengantar atau isyarat untuk selalu waspada, dan pukulan dua kali berarti adanya tindaka kejahatan, dan tiga kali pukulan ada kebakaran.

Bahannya terbuat dari ruas bambu yang ditoreh berlubang membuju panjang. Kentongan disebut juga sebagai "tungtung" oleh masyarakat Madura karena mengikuti bunyi yang dihasilkan. Sedangkan di Bali, kentongan disebut kulkul yang diletakkan di pojok dataran lebih tinggi pada pedesaan.

Menurut Jaap Kunst, etnomusikolog Belanda, kulkul dikenal oleh masyarakat Bali sejak masa Hindu dan pra-Hindu, dan merupakan sarana komunikasi ampuh yang masih dipakai hingga sekarang.

"Kulkul digantung di balai kulkul di sudut bale banjar, dan setiap banjar memiliki laras nada kulkul yang tidak sama," tulis Amir Rochkyatmo, budayawan dan penulis sastra di Jurnal Manuskrip Nusantara tahun 2010.

"Meski di satu desa terdapat beberapa banjar yang masing-masing memiliki laras nada kulkul yang berlainan, namun warga desa [...] bersangkutan dengan bijak dapat mengenal dan memahami nada suara kulkul di banjar masing-masing."

"Kulkul sebagai sarana komunikasi yang ampuh sekaligus pembawa amanat, memiliki beragam pukulan dengan makna masing-masing: berita kematian, perkawinan, panggilan warga berkumpul, panggilan kerja bakti/gotong royong," lanjutnya di makalah berjudul Kulkul, kenthongan dan bendhek: Sarana komunikasi tradisional yang mencitrakan kearifan lokal.

Keberadaan kentongan atau kulkul terekam dalam naskah Bharatayudha yang menyebut "[...] mulih welahnyacihna kukulan gantangnya munyanitir (dibuktikan oleh pukulan kentongan yang digantungkan, sehingga berbunyi tanpa hentinya." Dan juga dalam kidung Sudamala yang menyebut kulkul sebagai "suara bertubi-tubi".

Sementara masyarakat Sunda menyebut kulkul sebagai kohkol, berfungsi untuk mengumpulkan warga, kerja gotong royong atau kerja bakti, dan ronda, jelas Amir.