Nationalgeographic.co.id—Kawasan perairan Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur dan Raja Ampat di Papua Barat memiliki potensi wisata bernilai jutaan dolar Amerika Serikat. Hal itu diketahui berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dalam Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang - Inisiatif Segitiga Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program - Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).
Tonny Wagey, Direktur Eksekutif Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), badan di bawah Bappenas RI yang menjalankan COREMAP-CTI di Laut Sawu dan Raja Ampat, menjelaskan bahwa salah satu kegiatan dalam COREMAP-CTI adalah melakukan tagging atau penandaan terhadap spesies paus dan pari manta di sana. Penandaan dengan menempelkan alat tagging satelit (geotagging) dan alat tagging akustik terhadap hewan-hewan laut itu dilakukan untuk memantau dan merekam aktivitas para satwa tersebut.
Alat tagging satelit berfungsi untuk melacak lokasi geografis para satwa secara real-time sehingga dapat diketahui pola hidup dan migrasi mereka. Adapun alat tagging akustik untuk merekam suara di sekitar hewan-hewan tersebut untuk mengetahui adakah kawanan hewan yang sama di sekitar mereka dan perkiraan jumlah mereka.
"Data dari hasil kegiatan tagging adalah untuk kepentingan perikanan dan pariwisata," kata Tonny di sela-sela acara Workshop Diseminasi Program dan Exit Strategi COREMAP-CTI Bank Dunia, di Sorong, Papua Barat, 24 Maret 2022.
"Dari kajian tagging ini ditambah dengan kajian-kajian lain yang sudah ada, kita tahu Laut Sawu adalah tempat pola paus biru lewat. Dan itu bisa kita manfaatkan untuk whale watching (wisata melihat paus). Banyak orang (turis lokal dan mancanegara) mau whale watching. Whale watching itu industri pariwisata yang bernilai jutaan dolar [Amerika Serikat]," ujar Tonny.
Bahkan, menurut sebuah studi, industri wisata melihat paus secara global telah menghasilkan uang hingga 2,1 miliar dolar AS per tahun dan memperkerjakan 13.000 orang. Industri wisata melihat paus di Alaska sepanjang tahun 2019, misalnya, menghasilkan uang 86 juta dolar AS.
Selain paus, fauna-fauna laut lain yang jarang dijumpai seperti pari manta juga senantiasa menjadi daya tarik dalam pariwisata berbasis spesies. "Raja Ampat secara khusus adalah tempatnya pari manta. Surganya pari manta itu ada di sini. Dari delapan lokasi (pari manta) yang ada di dunia, empat ada di Indonesia. Salah satunya di Raja Ampat," lanjut Tonny.
Jadi dari tagging ini, kita bisa tahu bahwa paus ataupun pari manta ada di tempat-tempat tertentu pada bulan-bulan atau musim-musim tertentu. "Ini bisa mendukung untuk informasi tourism (pariwisata) kita," tegas Tonny.
Februanty Suryatiningsih Purnomo, Manajer Program ICCTF, menuturkan dalam COREMAP-CTI ini ada lima alat tagging satelit dan lima alat tagging akustik yang ditempelkan ke lima pari manta di Raja Ampat. Alat tagging satelit juga dipasang pada dua paus biru dan satu paus sperma di Laut Sawu.
Dari data ini kita tahu seekor paus sperma kerap berada di sekitar Laut Sawu setidaknya selama dua pekan atau lebih. Dua paus biru juga terlihat melewati Laut Sawu. "Paus biru itu kemudian terlihat bergerak ke selatan ke Samudra Antarktika," beber Feby, sapaan Februanty.
Baca Juga: Kabar Garda Sains Terdepan: Pari Manta Indonesia Terancam Punah
Baca Juga: Semangat Papua: Upacara 17 Agustus Bawah Laut Arborek Rajaampat
Baca Juga: Jangan Hanya Berhenti di Dermaga Wahai 'Traveler Jetty' di Rajaampat
Sri Yanti JS, Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, berharap hasil kajian tagging ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk menentukan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan memasukkannya ke dalam peraturan daerah masing-masing. Berdasarkan kajian berbasis sains ini, terlihat ada area-area yang cocok untuk jadi wilayah konservasi pariwisata dan perikanan.
Program-program yang dijalankan dalam COREMAP-CTI sejak Agustus 2020 ini bukan cuma tagging terhadap paus dan pari manta. Ada juga program rehabilitasi terumbu karang, lamun, dan mangrove. Setidaknya sudah ada 7.530 propagul mangrove, 1.521 bibit lamun, dan 1.650 fragmen karang yang direhabilitasi di Raja Ampat melalui program COREMAP-CTI ini. Angka-angka itu sudah melebihi target yang ditetapkan, yakni terehabilitasinya 5.000 propagul mangrove, 500 bibit lamun, dan 1.600 fragmen karang.
Ada pula pembentukan 23 kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas) di sejumlah kampung dan desa di Raja Ampat dan Laut Sawu beserta pengadaan sarana dan prasarana untuk kelompok-kelompok tersebut. Mulai dari menara pengawas, kapal pengawas, dan peralatan pengawasan lainnya. Pokmaswas ini bertugas dan berwenang mengawasi wilayah perairan tempat tinggal mereka dari praktik illegal fishing, seperti penangkapan ikan dengan bom, potasium (obat bius), maupun kompresor.
Paket-paket kegiatan dalam COREMAP-CTI yang selesai pada akhir Maret 2022 ini didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Bappenas sekaligus ICCTF berharap ada investor, donor, atau donatur yang mau berinvestasi dalam melanjutkan upaya konservasi di Raja Ampat maupun kawasan pesisir lain di Indonesia.
Sri Yanti mengatakan bahwa upaya konservasi pesisir di Indonesia membutuhkan dana yang besar. "Kira-kira hanya 20 persen yang bisa dipenuhi pemerintah, sisanya dari swasta, pihak luar, dan masyarakat," ucap Yanti.
Lebih lanjut Yanti mengatakan dana dari APBN dan APBD untuk konservasi hanya sekitar Rp1 triliun per tahunnya. Jadi Indonesia membutuhkan dana dari pihak-pihak lain, misalnya dari badan dunia, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan melaui CSR, ataupun impact investor, sekitar Rp4 triliun per tahunnya untuk konservasi pesisir.
Masyarakat sejumlah kampung di Raja Ampat mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa program COREMAP-CTI ini bermanfaat bagi mereka dan meminta program ini dilanjutkan dan ditingkatkan. Namun program yang berjalan berkat dana hibah sebesar 6,2 juta dolar AS (setara Rp89 miliar) dari Global Environmental Facility (GEF) yang dikelola oleh Bank Dunia (World Bank) itu harus berakhir di penghujung Maret ini sesuai kontrak dan kesepakatan awal.
Melalui program COREMAP-CTI, banyak warga di Kepulauan Raja Ampat yang semakin peduli dan memahami pentingnya menjaga laut dan pesisir—termasuk mangrove, lamun, dan karang—untuk keberlangsungan hidup mereka. Mereka sadar bahwa laut dan pesisir yang sehat akan menyediakan perikanan dan pariwisata yang berkelanjutan. Di sisi lain, ICCTF dan para mitra kerjanya juga mendapat banyak inspirasi kearifan lokal mengenai konservasi pesisir dari masyarakat setempat.