Tidak berhenti pada Operasi Toba, meletusnya peristiwa genosida PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965 juga mengganyang Bissu. Dengan bahasa bengis, Bissu dituduh sebagai bagian dari PKI karena melakukan perbuatan yang dianggap syirik.
Selain peristiwa berdarah yang menjadi biang memudarnya pranata adat suku Bugis, kebijakan negara yang kurang menguntungkan juga turut serta mengancam eksistensi Bissu. Hal ini berkaitan dengan penguasaan tanah adat.
Baca Juga: Puang Matoa Saidi, Bissu yang Melegenda karena Mempertahankan Tradisi
Baca Juga: Benteng Baadia, Benteng Pertahanan Raksasa Era Sultan Buton XXIX
Baca Juga: To Manurung, Sosok, dan Falsafah Demokrasi Ciri Khas Sulawesi Selatan
“Sejak Puang Matowa terakhir meninggal, kepemilikan tanah ulayat menjadi milik pemerintah berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 tentang hak atas tanah,” terang Jessy.
Adanya peraturan tersebut, menyebabkan tergantikannya sistem tradisional yang telah dijalankan oleh suku Bugis. Sistem ini dinilai telah menggeser nilai malebbi (kemuliaan) dan malempu (kejujuran) ke dalam peraturan yang memiliki kekuatan hukum dalam masyarakat.
Hal ini menjadi kabar buruk bagi Bissu, sebab mereka tidak lagi memiliki sumber dana yang tetap untuk membiayai upacara dan mencukupi kehidupan di Bola Arajang. Oleh karena itu, para Bissu harus mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi kehidupan mereka.
“Itu sebabnya mereka bekerja di Salon, dan dengan demikian stereotip mulai tertanam di dalamnya sebagai 'Salon Banci',” imbuh Jessy, “Bukan karena mereka ingin, tetapi mereka memiliki akses terbatas untuk memilih pekerjaan lain.”
Studi terdahulu oleh Lathief juga menemukan, bahwa tercatat sejak tahun 2000, Bissu bertahan sebagai penyelenggara upacara pengantin dan merangkap sebagai dukun (Sanro). Upacara terakhir dilakukan oleh Haji Nawir yang melibatkan Bissu berbaju putih dengan penutup kepala mirip haji, bahkan Puang Matowa Saidi yang bertindak sebagai Panglima/pimpinan juga mengenakan pakaian serba putih.