Warga Surabaya dalam Pusaran Politik Sehari-hari Zaman Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 8 April 2022 | 11:00 WIB
Gedung Siola di kawasan Tunjungan yang legendaris, penanda denyut kota dari zaman Hindia Belanda sampai hari ini.
Gedung Siola di kawasan Tunjungan yang legendaris, penanda denyut kota dari zaman Hindia Belanda sampai hari ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Jawa Timur, Sarang Tokoh-Tokoh Kebangkitan Nasionalisme Indonesia

Baca Juga: Selidik Gedung Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual

Baca Juga: Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan

Baca Juga: Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi

      

Situasi serupa tidak hanya terjadi pada kalangan partikelir. Kalangan lain pun bermunculan dalam menciptakan klub atau perkumpulan mereka sendiri.

Ada pula serikat para pelaut yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial karena cenderung berpaham Kiri. Mereka tergabung dalam ISDV, dan rapat-rapat awalnya sendiri bahkan diadakan di lingkungan pelabuhan saat itu. Banyak sejarawan yang mengira gerakan kiri di Hindia Belanda muncul karena revolusi Bolshevik pada 1917. Akan tetapi, Andi menegaskan, ekspresi seperti itu sebenarnya sudah ada lama sebelum Soviet menggulingkan Kekaisaran Rusia.

"Jadi aksi pelaut awal-awal di kota Surabaya, mereka mengangkat isu-isu keseharian semacam banyaknya kutu busuk, tidak ada perhatian [oleh pemerintah]. Pokoknya, di kalangan prajurit rendahan itu sangat merana. Ini yang muncul jadi kolektif bersama," terang Andi.

Di kalangan bumiputra oleh H.O.S Cokroaminoto, jauh sebelum mendirikan Sarekat Islam, ia juga pernah mendirikan klubnya di Panti Harsojo yang diisi pelajar di Surabaya.

H.O.S Tjokroaminoto sebelum mendirikan Sarekat Islam pernah mendirikan klub Panti Harsojo untuk mengkritik Dewan Kota Surabaya. ()

"Mereka [Panti Harsojo] kegiatannya rutin, ada diskusi, ada diskusi tentang gamelan dan musik dalam perspektif orang-orang Jawa. Jadi ada semacam pembicaran intelektual dan modernitas yang kuat," lanjutnya. "Ini catatan penting, tidak ada partai atau organisasi serikat. Itu mereka mendirikan dari itu awalnya."

Pergerakan seperti ini membuahkan hasil. Kalangan partikelir yang menyerukan pembentukan dewan kota otonom sejak abad ke-19, baru terwujud pada 1906. Akan tetapi, permasalahan baru muncul yang menjadi kritik besar kelompok pergerakan lain.