Nationalgeographic.co.id—“Menurut tulisan dalam kitab Hindu Kuno, kami dapat menemukan cerita berikut, yang kemungkinan besar terjadi pada 450 tahun sebelum [Masehi] dan 78 tahun sesudah Masehi,” ungkap Capt. R.P Suyono, dalam bukunya bertajuk Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, dan Benda Magis.
Suyono menulis buku ini berdasarkan penggaliannya terhadap catatan kuno Belanda dan beberapa sumber lainya.
Kisah dimulai ketika Arjuna, seorang raja dari Kerajaan Astina, berkeinginan untuk memperluas wilayahnya. Satu upaya yang ia lakukan adalah dengan menduduki pulau tidak berpenghuni, untuk kemudian digabungkan dengan kerajaannya. Pulau Jawa, atau saat itu dikenal dengan nama Nusa Kendang, menarik perhatian Arjuna untuk ditempati.
Dus, Arjuna bersama sejumlah besar rakyatnya, mengarungi lautan untuk mendatangi Pulau Jawa. “Mereka mendarat di bagian barat Pulau Jawa, mungkin pada tempat yang sekarang dinamakan Banten, dekat Serang,” terang Suyono.
Nahas, konon kedatangan mereka justru diganggu oleh makhluk-makhluk berbentuk aneh yang diberi nama Genderuwo, Tetekan, Cicet, Behamburan, Bahung, dan Banaspati. Para pendatang ini, semakin sengsara ketika mereka mendapatkan gangguan dari binatang buas dan ular-ular besar berbentuk aneh. Banyak diantara mereka yang tewas dan sebagian kembali ke asalnya.
Perjalanan tidak berhenti. Sekitar 500 tahun berikutnya, Raja Beswara, keturunan keempat belas dari Arjuna, dalam pelayaranya berhasil mencapai Pulau Jawa. Mereka juga melakukan pendaratan di daerah yang sama, Banten. Keberhasilannya berbuah pada berdirinya desa dengan fasilitas pengamanan terhadap serangan binatang buas.
Menurut Suyono, Permaisuri dari raja yang mengadakan perpindahan penduduk kedua ini bernama Brahmani Wati. “Upaya pemindahan penduduk ini, kelak menjadi Kerajaan Pajajaran,” terangnya. Brahmani Wati melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tritrusht, atau dalam cerita kuno lainnya bernama Trirestha.
Pada usia muda, Tritrusht melakukan perjalanan ke Dekhan yang terletak di pantai Koromandel. Ia mengabdi kepada Raja Saliwahana, untuk mempelajari secara mendalam agama Buddha atau juga bernama Saka.
Setelah berhasil mempelajari ajaran agama tersebut, Tritrusht dinobatkan menjadi pendeta agama Buddha, dan menamai dirinya menjadi Aji Saka. Ia mengajukan permohonan kepada raja, untuk kembali ke Pulau Jawa demi membangun agama Buddha. Singkat cerita, permohonan pun dikabulkan.
Aji Saka bersama rombongannya, memutuskan untuk berlabuh di daerah tengah-tengah Pulau Jawa. Mereka menyandarkan kapal di pantai utara Jawa, yang merupakan muara sebuah sungai. Di titik tersebut, terletak desa Waru yang berada dekat dengan Kota Rembang saat ini. “Pendaratan dilakukan pada 78 tahun sesudah Masehi,” terang Suyono.
Suyono menambahkan, Aji Saka bersama sebagian pengikutnya, melanjutkan perjalanan ke Gunung Kendeng untuk meninjau keadaan sekelilingnya, “waktu itu alamnya masih buas dan ditumbuhi hutan belantara lebat.”
Dari kejauhan, Aji Saka melihat daratan yang terbentang. Keberadaan lokasi tersebut menarik dirinya untuk mendatangi, namun menimbang adanya berbagai kemungkinan yang terjadi di sana, maka diputuskanlah sebagian barang-barang ditinggal di Gunung Kendeng. Salah satu hamba sahayanya, Sembodo, diberi tugas untuk mengawasi barang-barang tersebut.