Kenapa Batasan Periode untuk Jabatan Presiden adalah Hal yang Baik?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 12 April 2022 | 11:56 WIB
Aksi demonstrasi pada 11 April 2022 di Senayan, Jakarta. (Kristianto Purnomo/Kompas.com)

Sebuah studi yang terbit di jurnal Comparative Political Studies pada 2019 mencatat adanya pemerintahan di beberapa negara yang pernah berusaha mengubah aturan mengenai batas periode jabatan presiden. Studi tersebut dibuat oleh Kristin McKie yang kini menjadi Lektor Kepala Studi Pemerintahan dan Afrika di St. Lawrence University.

Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

Baca Juga: Sering Muncul dalam Demonstrasi, Apa itu Gerakan Antifasisme?

  

"Sejak batas masa jabatan presiden (kembali) diadopsi oleh banyak negara selama gelombang ketiga demokratisasi, 221 presiden di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Asia telah mencapai akhir masa jabatan mereka. Dari jumlah tersebut, 30% telah berusaha untuk melanggar batas jangka waktu, yang mengakibatkan penghapusan penuh, perpanjangan satu periode, atau kegagalan," tulis Kristin McKie dalam makalah studinya tersebut.

Yang dimaksud gelombang ketiga demokratisasi adalah periode antara tahun 1970-an hingga 1990-an. Selama periode tersebut banyak negara yang mulai mengadopsi atau kembali mengadopsi aturan batasan masa jabatan presiden untuk para pemimpin negara-negara mereka.

"Dari presiden-presiden di wilayah gelombang ketiga yang telah mencapai akhir masa jabatan terakhir yang diamanatkan secara konstitusional, hampir sepertiga telah berusaha untuk menghindari undang-undang batas masa jabatan. Dari mereka yang berusaha untuk melanggar batasan masa jabatan, 33% mampu menghapus batasan kepemilikan sama sekali, 45% mendapatkan perpanjangan satu periode, sementara 22% gagal mengubah undang-undang batasan masa dan terpaksa mundur sesuai jadwal," beber McKie.