Klitih di Yogyakarta: Antara Orang Tua, Sekolah dan Warung Burjo

By Utomo Priyambodo, Rabu, 13 April 2022 | 11:00 WIB
Para pelaku klitih di Yogyakarta. (Haris Firdaus/KOMPAS)

Nationalgeographic.co.id—Aksi klitih di Yogyakarta kembali terjadi dan menelan korban jiwa. Pada awal April 2002, seorang remaja asal Kebumen bernama Dafa Adzin Albasith tewas diduga karena sabetan gir anggota klitih.

Peristiwa nahas tersebut terjadi pada dini hari, saat Dafa dan teman-temannya hendak mencari makan sahur. Dalam perjalanan rombongan Dafa bertemu dengan geng klitih.

Klitih sendiri merupakan salah satu fenomena kejahatan jalanan yang biasanya terjadi saat malam hari di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Spesifiknya, kejahatan yang dilakukan adalah berupa mencederai atau melukai orang lain di jalanan. Umumnya, pelaku klitih adalah pelajar remaja.

Sebetulnya, pada awalnya, makna dari kata klitih bukanlah untuk aksi negatif atau kejahatan jalanan. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menuturkan makna asli istilah klitih adalah kegiatan keluar rumah di malam hari untuk menghilangkan kepenatan.

"Klitih dulu sebetulnya hanya aktivitas orang keluar malam mencari kegiatan untuk mengatasi kepenatan," terangnya seperti dikutip dari Kompas.com.

Senada, sosiolog UGM Sunyoto Usman juga menyatakan bahwa makna klitih adalah mengisi waktu luang. Tak ada konotasi negatif pada makna asli klitih. "Dulu klitih hanya bermakna mengisi waktu luang, seperti tanda kutip tidak ada pekerjaan kemudian nglitih," jelasnya.

Terlepas dari pergeseran maknanya yang menjadi negatif, apa sebenarnya yang menyebabkan banyak remaja di Yogyakarta justru mengisi waktu luang malamnya dengan aksi kejahatan di jalan?

Sebuah studi yang terbit di jurnal Spirits pada 2019 pernah membahas faktor-faktor pendorong aksi klitih. Studi yang ditulis oleh para peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa membahas ini dengan membahas perilaku klitih dari sudut pandang para pelakunya.

Ada tiga subjek remaja pelaku klitih yang diteliti dalam studi ini. Subjek 1 memiliki masalah dengan kedua orang tua, yaitu sejak kecil subjek ditinggal pergi oleh ayahnya. Semenjak kepergian ayahnya, subjek 1 hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Subjek 1 tidak memiliki kelekatan dengan ayahnya. Selain itu, subjek 1 memiliki kelekatan yang lebih tinggi dengan pacar dibandingkan dengan ibunya.

Seperti subjek 1, subjek 2 juga lebih terbuka dengan orang lain (teman) dibandingkan dengan orang tua. Di samping itu, subjek 2 juga merasa bosan ketika harus di rumah seharian. Subjek 2 lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya dibandingkan di rumah bersama orang tuanya.

Adapun orang tua subjek 3 sudah pisah ketika subjek 3 masih kecil. Setelah orang tua subjek 3 berpisah, subjek tinggal bersama neneknya sampai sekarang. Ayah subjek 3 tidak peduli dengannya meskipun masih tinggal di kota yang sama. Ayah subjek tidak pernah menjenguknya langsung ke rumah nenek, sedangkan ibu subjek kerja di luar negeri dan pulang 1 kali dalam setahun. Subjek 3 merasa tidak nyaman tinggal bersama ayah subjek, karena memang sudah lama tidak pernah tinggal bersama. Ditambah lagi ayah subjek sudah menikah lagi.

Permasalahan keluarga atau ketidakdekatan remaja dengan orang tua memicu para remaja tersebut untuk mengisi waktu luang lebih banyak di luar rumah, dalam hal ini adalah dengan kelompok pertemanan mereka, baik yang ditemui di sekolah maupun di luar sekolah. Dari kelompok atau geng teman sebaya inilah mereka terpengaruh untuk melakukan aksi klitih.