Menyelami Pemikiran Beragama RA Kartini dalam Surat-Suratnya

By Galih Pranata, Kamis, 21 April 2022 | 12:00 WIB
Roekmini dan Kartini, dua dari delapan bersaudara. Mereka adalah buah hati dari R.M. Samingoen dan R.Ay. Ngasirah (garwa ampil). Kehidupan Kartini begitu singkat, namun pemikirannya jauh melampaui orang-orang semasanya. Salah satu yang tak lepas dari keresahan Kartini ialah kehidupan beragama kaum bumiputera di Hindia-Belanda. (KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE)

Nationalgeographic.co.id—Raden Ayu Kartini memiliki pemikiran melampaui zamannya. Dia telah menyadari kemajemukan beragama kaum Bumiputera di Hindia-Belanda.

Kartini merupakan kaum terpelajar yang dilahirkan dari pendidikan sekolah Eropa. Atas akses pergaulannya, dia mencurahkan segala keresahannya dengan berkorespondensi dengan sahabat pena, yakni orang-orang Belanda.

Dalam surat-suratnya yang dikirim ke Belanda, ia menceritakan banyak hal tentang gagasan pemikirannya. Salah satu yang tak lepas dari keresahannya ialah kehidupan beragama kaum Bumiputera di Hindia-Belanda.

"Keprihatinan Kartini akan manusia yang saling membenci, saling menghina karena pemahaman agama yang dangkal menjadi realitas di negeri ini," tulis Lilis Muchoiyyaroh.

Lilis menulisnya dalam jurnal Indonesian Historical Studies yang berjudul Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integrasi Nasional. Jurnalnya dipubllikasi pada tahun 2019.

Kartini hidup di tengah sistem feodalisme dan adat istiadat Islam kejawen yang memicu terjadinya perpecahan karena faktor agama. Sering kali situasi ini menjadi bahan perbincangan yang mengalir deras dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat penanya.

Pemahaman Kartini tentang agama adalah bentuk pengalaman dan pergumulan batin akan apa yang sedang terjadi pada masanya. Berulang kali, Kartini menjumpai fenomena penistaan agama oleh salah seorang pemeluk agama yang menyinggung pemeluk agama lain.

Fenomena yang kerap terjadi, dimana kekerasan oleh kelompok yang satu terhadap yang lain, pembenaran akan agama sendiri menjadi pemandangan sehari-hari sebagai penodaan dan penyimpangan terhadap kesucian ajaran agama itu sendiri.

Dalam suratnya, Kartini memandang bahwa serangan terhadap agama tertentu tidak perlu terjadi. "Apabila ada kritik, maka kritik itu harus secara langsung ditujukan kepada si pelaku dan terlepas dengan agama yang dianutnya," tulis Lilis.

Pada akhir tahun 1930-an, tujuh Sekolah Kartini mengikutkan sekitar 1.500 anak setiap tahun (umumnya berlatar belakang sosial sederhana) untuk pendidikan yang baik. Namun, kegiatan mereka terhenti karena pendudukan Jerman atas Belanda pada 1940 dan pendudukan Jepang atas Hindia Belanda pada 1942. (Van Deventer-Maas Stichting)

Kartini hidup di tengah kemajemukan dan kontestasi beragama, yang membuatnya merasa miris dan prihatin sebagai masyarakat beragama di kalangan Bumiputera. Kartini sendiri dikenal dari kalangan priayi.

"Islam bagi golongan priayi hanya digunakan untuk melengkapi narasi mistik. Mistik priayi memang sulit dikompromikan dengan ajaran tasawuf murni," imbuhnya.