Kekuatan Legenda Jaka Tarub dalam Keselarasan Semesta di Yogyakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 22 April 2022 | 12:00 WIB
Lukisan bergaya Bali tentang kisah Jaka Tarub yang mengintip para bidadari yang sedang mandi. (Museum Puri Lukisan)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Jawa akrab dengan legenda tutur Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Beberapa daerah memiliki beberapa versi, namun memiliki esensi cerita yang sama. Dahulu, kisah ini tampil memasyarakat dalam lukisan, kesenian ketoprak sampai dongeng pengantar tidur anak. Judul Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari juga pernah tampil dalam film layar perak dan serial sinema layar kaca Indonesia.

Babad Tanah Jawi pun mencatat kisah ini. Sepenggal ceritanya, seorang pemuda bernama Jaka dari desa Tarub sedang berburu di hutan. Jaka mengintip para bidadari yang sedang mandi di sendang. Dia terpikat dengan kecantikan para bidadari. Sambil mengendap-endap, Jaka mencuri busana salah satu bidadari.

Ketika para bidadari mengetahui ada lelaki di sendang, mereka segera mengangkasa. Namun, salah satu bidadari yang bernama Dewi Nawang Wulan tak kuasa mengangkasa karena busananya hilang. Jaka berkata kepadanya, apabila dia bersedia menjadi istrinya, busana itu akan dikembalikan. Sang Dewi terpaksa menyetujuinya. Akhirnya mereka menikah dan dikarunia seorang anak.

Taruban, toponimi desa yang berkait dengan kisah Jaka Tarub, berlokasi di Sentolo, Kulonprogo, sekitar 23 kilometer di barat laut Yogyakarta. Warga desanya merawat legenda itu sebagai pesan leluhur.

Mereka memuliakan pesan itu dalam medium yang bisa diraba: Pertama, makam Jaka Tarub-Nawang Wulan. Kedua, Wit Sambi yang merupakan pohon besar keramat. Ketiga, sumber air atau sendang Kamulyan, berikut dengan upacara bersih desa dan ziarah.

Lukisan bertajuk 'Jaka Tarub' karya Basuki Abdullah. Tampak adegan Jaka Tarub sedang mencuri busana milik salah satu bidadari yang sedang mandi, Dewi Nawang Wulan. (Basuki Abdullah)

Gabungan dari tiga hal itu merupakan upaya warga Taruban melestarikan nilai-nilai leluhur atau kearifan yang memuliakan alam. Hasilnya, terpeliharanya pohon-pohon besar dan terjaganya sumber air.

"Menurut orang desa Taruban, [Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan] benar ada dan dianggap leluhur," kata Ida Fitri Astuti.

Ia merupakan staf dan peneliti Indonesian Consortium for Religious Studies di Yogyakarta, yang berkesempatan mengungkap bagaimana legenda Jaka Tarub berkait dengan keberadaan situs makam, pohon dan sendang keramat di Desa Taruban. Penelitiannya bertajuk "Villagers of Taruban Preserve the Environment through Myths and Rituals" yang tersurat dalam prosiding 6th International Graduate Students and Scholars' Conference in Indonesia. Penyelenggaranya, Sekolah Pascasarjana Multidisiplin, Universitas Gadjah Mada pada 2014.

Nisan Jaka Tarub di Desa Taruban, Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. (Ida Fitri Astuti/ICRS)

Ida menunjukkan bahwa warga terlibat dalam hubungan “antar-pribadi” dengan situs-situs sakral di desa mereka—pohon, makam, dan sendang. "Orang-orang mengenali dan memandang pohon sebagai 'orang atau sosok' yang memiliki kemampuan untuk merawat, menerima, dan memberi," ungkapnya. "Hubungan mereka, antara pohon dan penduduk desa, mengikuti persepsi penduduk desa, saling menguntungkan dan bertanggung jawab."

Legenda adalah abstrak, ungkapnya, namun warga membendakan dalam bentuk makam atau petilasan. Inilah yang menjadi medium penghubung antara penduduk dengan leluhurnya, yakni Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Selain itu legenda juga "ditubuhkan" dalam bentuk ritual—baik yang dilakukan oleh tubuh secara personal seperti merapalkan doa, ritual komunal seperti bersih desa, maupun ritual aturan dalam menebang pohon.