Nationalgeographic.co.id—Manusia ternyata bisa terinfeksi COVID-19 hingga lebih dari setahun, menurut bukti yang dipresentasikan minggu ini di European Congress of Clinical Microbiology & Infectious Diseases (ECCMID) di Lisbon, Portugal. Bukti tersebut menunjukkan laporan mengenai seorang pasien di rumah sakit London dinyatakan positif COVID-19 selama 505 hari atau sekitar 1,5 tahun sebelum meninggal.
Pasien ini mewakili infeksi COVID-19 paling lama yang diketahui. Selain itu, kasus luar biasa ini juga menyoroti kapasitas virus SARS-CoV-2 untuk bertahan pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan, di mana ia mungkin dapat bermutasi dan beradaptasi.
Saat ini, ada tiga teori utama tentang bagaimana varian baru virus SARS-CoV-2 bermunculan. Salah satunya menyatakan bahwa patogen tersebut dapat bertahan dan berkembang pada pasien dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti mereka yang menjalani pengobatan untuk kanker atau HIV.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus itu berubah ketika mutasi terakumulasi selama rantai infeksi dari orang ke orang. Adapun teori ketiga menyatakan bahwa adaptasi terjadi ketika patogen tersebut berpindah antara manusia dan hewan.
Baca Juga: Sekitar 30 Persen Pasien Covid-19 yang Dirawat Mengalami Long Covid
Baca Juga: Kondisi Kejiwaan Pengaruhi Kemungkinan Infeksi Terobosan Covid 19
Para peneliti menganalisis perubahan genetik dalam virus SARS-CoV-2 pada pasien-pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh yang telah dites positif setidaknya selama delapan minggu berturut-turut. Antara Maret 2020 dan Desember 2021, tim mengidentifikasi sembilan orang di London yang memenuhi kriteria ini, empat di antaranya kemudian meninggal.
Para pasien tersebut dinyatakan positif selama rata-rata 73 hari, dengan infeksi terpendek berlangsung selama 56 hari dan terlama 505 hari. Satu pasien yang masih hidup masih terinfeksi virus ini selama 412 hari pada saat pemeriksaan terakhir mereka di awal tahun 2022, dan dapat membuat rekor baru pada saat pemeriksaan berikutnya dilakukan.
Hasil yang penting, para peneliti menemukan bahwa virus SARS-CoV-2 mengembangkan mutasi-mutasi yang terkait dengan variants of concern pada lima dari sembilan pasien. Ini termasuk mutasi-mutasi yang mengubah sifat protein spike yang digunakan virus untuk memasuki sel-sel, dan yang telah memunculkan varian-varian baru seperti Alpha, Delta, dan Omicron.
Virus dari satu pasien mengandung sepuluh mutasi yang nantinya akan muncul secara terpisah di beberapa varian baru ini. Dalam sebuah pernyataan, penulis studi Luke Blagdon Snell menjelaskan bahwa "ini memberikan bukti bahwa mutasi yang ditemukan pada variants of concern memang muncul pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan dan dengan demikian mendukung gagasan bahwa varian baru virus dapat berkembang pada individu-individu yang mengalami gangguan sistem kekebalan."
"Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwa tidak ada individu dalam penelitian kami yang mengembangkan varian-varian baru yang menjadi variants of concern yang tersebar luas," tambahnya seperti dilansir IFLScience.
"Selain itu, sementara penelitian ini menunjukkan varian-varian dapat muncul pada individu-individu dengan gangguan kekebalan, apakah variants of concern sebelumnya seperti Alpha, Delta, dan Omicron muncul dengan cara ini masih belum diketahui."
Selain menemukan kasus pasien dengan infeksi COVID-19 terlama, para peneliti juga menemukan kasus reinfeksi atau infeksi ulang tercepat. Awal pekan ini, para dokter melaporkan infeksi ulang COVID-19 tercepat yang diketahui setelah seorang petugas kesehatan wanita berusia 31 tahun terjangkit penyakit itu dua kali dalam waktu 20 hari.
Secara kolektif, temuan-temuan seperti ini membantu para ilmuwan memahami bagaimana virus beradaptasi untuk menghindari vaksin dan menjadi lebih menular.