Nationalgeographic.co.id—Praktik jual beli vaksin booster untuk masyarakat umum terus terjadi. Temuan ini menambah daftar panjang kasus penyimpangan selama program vaksinasi COVID-19 berlangsung.
Menjamurnya praktik semacam ini disebabkan pengawasan yang lemah, pembiaran laporan warga, dan minimnya transparansi pada proses distribusi vaksin. Akibatnya, vaksin justru diterima kelompok tertentu yang memanfaatkannya demi meraup keuntungan.
Penelusuran investigasi CNN Indonesia akhir Tahun 2021 lalu menunjukkan secara langsung praktik jual beli vaksin COVID-19 di Surabaya. Praktik semacam ini tidak dilakukan hanya karena ada kesempatan, melainkan sudah direncanakan sedemikian rupa, dengan menyertakan link pendaftaran sebagai tanda bukti pemesanan.
Praktik penyimpangan terhadap program vaksinasi ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Sepanjang 2021, LaporCovid-19 menerima sedikitnya 71 laporan warga yang melaporkan kejadian penyimpangan maupun penyalahgunaan pada program vaksinasi COVID-19. Sebagian besar laporan (27 laporan) justru diduga melibatkan oknum petugas hingga pejabat atau kepala daerah yang memiliki akses secara langsung terhadap distribusi vaksin.
Salah satu temuan lain dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga mengindikasikan adanya penyalahgunaan persediaan vaksin, di antaranya pemberian vaksin booster kepada kelompok non-nakes. Alih-alih menghentikan praktik penyimpangan, temuan CNN menjadi bukti bahwa praktik penyimpangan merupakan sesuatu hal yang lumrah.
"Penyimpangan atau penyalahgunaan program vaksinasi berpotensi menghambat publik mendapatkan hak atas kesehatan termasuk layanan vaksinasi dan semakin memperlebar ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan yang setara," tegas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan dalam pernyataan tertulis yang diterima National Geographic Indonesia.
Baca Juga: Vaksin Booster Berbayar dan Ketimpangan Sosial bagi Rakyat Indonesia
"Pemerintah bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal. Antara lain melalui penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak, serta mudah diakses oleh masyarakat. Klausul ini pun sudah tertera di dalam konstitusi, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan sejumlah peraturan lainnya," papar mereka.
Selama ini mekanisme distribusi vaksin ke daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang menetapkan kebutuhan vaksin sesuai jenis, jumlah yang akan dibutuhkan, hingga harga satuan vaksin. Adapun pemerintah daerah bertugas untuk meneruskan vaksin ke fasilitas kesehatan sehingga dapat menyelenggarakan program vaksinasi COVID-19.
Namun, hingga saat ini publik masih kesulitan untuk mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin yang digunakan. Baik mulai dari proses pengadaan, distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hingga pencatatan vaksinasi kepada kelompok penerima.
Minimnya informasi serta transparansi distribusi vaksin menyebabkan publik kesulitan mendapatkan informasi secara real time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR