Ada Bakteri Kebal Antibiotik yang Bisa Menular dari Babi ke Manusia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 25 April 2022 | 17:00 WIB
Ilustrasi peternakan babi. Babi dapat menularkan bakteri yang kebal antibiotik ke manusia yang sangat mengancam jiwa. (dusanpetkovic/Getty Images/iStockphoto)

   

Christopher Murray seorang profesor di University of Washington tergabung dalam kelompok penelitian Antimicrobial Resistance Collaborators (ARC). Penelitian itu dipublikasikan di jurnal The Lancet pada Februari 2022 yang menegaskan perkembangan bakteri yang mampu melawan antibiotik yang ditemukan pada 2019.

"Ini masalah besar," ujarnya dalam  siniar University of Chicago. "Saya akan mengatakan bahwa dari titik ketika ada penggunaan antibiotik secara luas, menjadi jelas bahwa beberapa bakteri dapat mengembangkan resistensi."

"Ini adalah evolusi klasik peperangan. Ada antibiotik, bisa membunuh dan menyerang bakteri, berkembang atau bermutasi menjadi resisten, lalu antibiotik itu tidak berfungsi lagi, lalu kita harus mencari antibiotik lain atau modifikasi agar bisa mengatasi pola resistensi itu."

Masalah itu makin diperparah dengan meluasnya penggunaan antibiotik pada hewan ternak. Paling sering adalah babi dan unggas, tetapi kadang-kadang juga sapi, sehingga memudahkan penyakit menyebar keluar spesies mereka.

Akibat aktivitas ini, ada peningkatan pesat dalam resistensi antimikroba di seluruh dunia, terang para ilmuwan. Antibiotik yang dulu efektif menjadi kurang mampu melawan infeksi umum, sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan global.

"Resistensi antimikroba sedang meningkat di Eropa dan di tempat lain di dunia," kata Margaret Chan, mantan direktur jenderal WHO. "Kami kehilangan antimikroba lini pertama kami. Perawatan pengganti lebih mahal, lebih beracun, membutuhkan durasi perawatan yang lebih lama, dan mungkin memerlukan perawatan di uni perawatan intensif."

Penelitian terbaru juga memperkirakan akan ada sekitar 750.000 orang yang akan meninggal setiap tahunnya akibat infeksi yang resisten. IUCN mengkhawatirkan, jumlah ini bisa mencapai 10 juta orang dan menelan biaya lebih dari 100 dolar AS untuk kesehatan global.