Kisah Pilu Aktris di Zaman Romawi, Sering Diperlakukan sebagai Pelacur

By Sysilia Tanhati, Kamis, 28 April 2022 | 12:00 WIB
Alih-alih dihargai karena bakat, para aktris di zaman Romawi dianggap tidak lebih dari sekedar pelacur. (Giovanni Battista Tiepolo/Fine Arts Museum of San Fransisco)

Nationalgeographic.co.id—Ketika seorang aktris Romawi secara brutal diperkosa oleh sekelompok pria muda, ia memulai pertempuran terbuka untuk mendapatkan keadilan. Kisah perjuangannya dan kegagalannya biasanya tidak lebih dari catatan kaki dalam sejarah pria penting di masa itu. Di sisi lain, kejadian ini sebenarnya mengungkapkan sisi gelap keberadaan perempuan 2.000 tahun yang lalu.

Wanita yang namanya hilang ditelan waktu itu adalah seorang mimae, sejenis komedian bisu yang populer di Kekaisaran Romawi. Ia tampil di teater pedesaan untuk pertunjukan sederhana di Atina, mengharapkan tidak lebih dari sekedar beberapa tawa. Tetapi bahkan sebelum dia meninggalkan teater, sekelompok pria di antara penonton menjatuhkannya ke tanah, menjepitnya, dan menyiksanya.

Wanita ini berjuang untuk keadilan. Ia mengajukan tuntutan terhadap orang-orang yang menyerangnya. “Juga mencoba menggunakan skandal itu untuk menghancurkan karir politik salah satu pemerkosanya,” ungkap Mark Oliver dilansir dari laman Ancient Origins. Alih-alih mendapatkan keadilan, pengadilan Romawi malah menertawakannya.

"Oh, betapa elegannya masa muda berlalu," kata pengacara penyerangnya, Cicero, selama persidangan, "ketika satu-satunya hal yang diperhitungkan kepadanya adalah bahwa tidak ada banyak kerugian."

Ini adalah kisah mengerikan yang masih sering kita temukan di zaman modern sekarang ini. Pemerkosaan itu hanya sekedar satu insiden dalam sejarah dan selalu berulang. Inilah sepenggal kisah tentang kehidupan mengerikan yang dialami aktris Romawi selama ratusan tahun.

Perlakuan mengerikan yang dialami para aktris Romawi

Wanita jarang diizinkan tampil di grup akting yang disegani. Seperti teater pada masa Shakespeare, peran wanita biasanya diambil oleh pria yang mengenakan pakaian wanita.

Ada beberapa pengecualian – di tahun-tahun terakhir kekaisaran, segelintir wanita berhasil mendapatkan peran yang terhormat – namun itu jarang terjadi. Kebanyakan wanita tidak pernah mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang terhormat.

Sebaliknya, sebagian besar wanita diturunkan ke kehidupan sebagai penari dan “mimae” – pantomim yang akan memparodikan mitos dan pahlawan. Meski dianggap remeh, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Para wanita ini mulai berlatih ketika masih anak-anak.

“Mereka harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengasah keahlian mereka,” tambah Oliver.  

Tetapi para pria di antara hadirin memperlakukan mereka tidak lebih dari pelacur. Pria akan berteriak menuntut agar aktris melepas pakaian mereka. Mirisnya, seiring waktu sebagian besar aktris akan mematuhinya.

Teater tidak menunjukkan atau bahkan membicarakan soal kecerdasan aktris atau kemampuan untuk memunculkan emosi halus. Sebaliknya, mereka biasanya digambarkan sebagai sesuatu yang sedikit lebih dekat dengan pornografi.