Selidik Pola Hunian Unik dan Mistis di Jantung Kota Bogor

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 9 Mei 2022 | 09:00 WIB
Teras belakang paviliun Istana Bogor yang menghadap ke Situ Gunting di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—“Kalau klenteng itu dibongkar, klenteng mah kan engselna gunting, kalo dibongkar Bogor hancur atuh!” ujar penjual lumpia basah yang keturunan Cina kepada Agni Malagina tatkala dia melancongi kota itu.

Agni merupakan pemerhati budaya Cina yang kini tinggal di Kota Bogor. Menurutnya, ungkapan dari penjual lumpia itu ada benarnya. “Bahwa permukiman di Kota Bogor ini telah didesain seperti gunting dengan Klenteng Dhanagun sebagai poros engselnya,” ujar Agni pada kesempatan lain.

“Bagian pangkal pegangan gunting adalah kampung Cina dan kampung Arab, sedangkan Istana Bogor berada di antara bagian ujung gunting yang tajam.”

Paparan Agni tersebut berkait dengan mitos Situ Gunting yang berkembang dalam budaya tutur masyarakat Bogor. Bahwa dua bilah sisi tajam gunting imajiner tersebut membentuk telaga berpola segitiga yang kini dijuluki warga sebagai Situ Gunting. Lokasinya di Kebun Raya, tepat dibelakang Istana Bogor. Toponimi telaga itu rupanya menegaskan kembali tentang adanya garis imajiner yang membentuk pola bak alat pangkas.

Wihara Dharmakaya di Jalan Siliwangi, kawasan pecinan Bogor. Awalnya merupakan tempat peristirahatan keluarga Tionghoa asal Kwitang, Batavia—kini Jakarta Pusat—pada awal abad ke-20. Kemudian didarmakan untuk biara. (Agni Malagina)

Tampaknya bagi masyarakat Bogor, Klenteng Dhanagun memiliki fungsi mistis sebagai pelindung kota umumnya dan kawasan pecinan khususnya. Bahwa mitos garis imajiner yang membentuk gunting tersebut, demikian menurut Agni, merupakan garis mistis yang dibuat masyarakat Cina bersama dengan penguasa warga setempat. Tujuannya, untuk membuat tapal batas perlindungan bagi daerah Pecinan Surya Kencana.

Terdapat empat kawasan yang membentuk rupa Kota Bogor. Kawasan I merupakan pecinan, kawasan II merupakan kampung Arab, kawasan III permukiman Eropa, dan kawasan IV menjadi permukiman Pribumi. Pembagian daerah seperti ini mengikuti aturan permukiman yang dibuat oleh Belanda, Wijkenstelsel.

Agni pun mencoba mendeskripsikan konsep tata letak hunian di Bogor berdasarkan prinsip fengshui. Hasil studinya menunjukkan bahwa Kota Bogor terletak di kawasan ideal yang diduga termasuk salah satu daerah pengumpul energi positif terbesar.

Klenteng Dhanagun di kawasan pecinan Suryakencana Bogor, Jawa Barat, sekitar 1920-1930. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Alasannya diperkuat dengan “lokasi kota yang terletak dalam pelukan Gunung Pancar, Gunung Salak, sekaligus terletak pada urat naga—aliran Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane.” Menurutnya Surya Kencana juga memiliki lokasi yang tepat bagi sebuah permukiman masyarakat Cina.

Pecinan Bogor yang terletak diatas tanah landai, pelukan tanah tinggi Kelurahan Babakan Pasar dan Kelurahan Gudang , dapat diperhitungkan memiliki fengshui ideal.”

Percabangan Sungai CIliwung dan Sungai Cisadane yang bisa diibaratkan lekukan-lekukan urat naga dapat disebut sebagai pengumpul energi positif terbesar ketimbang kawasan lainnya, apalagi aliran kedua sungai tersebut tidak deras.

Suatu senja di Situ Gunting dengan latar halaman belakang Istana Bogor. Warga setempat masih meyakini bahwa toponimi telaga ini berkait dengan garis imajiner yang berpola gunting yang berporos pada Klenteng Dhanagun di pecinan Bogor (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Namun pemahaman orang Cina terhadap konsep hunian kota Bogor agak sedikit unik,” ungkap Agni. Tidak seperti pecinan di kota-kota lain, masyarakat Surya Kencana masih yakin dengan prinsip kekuatan gaib yang berasal dari luar mitologi Cina. “Mereka percaya bahwa ‘orang-orang sakti’ melindungi kota mereka.” Warga Pecinan Surya Kencana, terutama generasi tua, mengungkapkan bahwa Kota Bogor dilindungi oleh penguasa “Empat Penjuru Angin”. Para sesepuh gaib itu adalah Mbah Bogor yang terpusat di dalam Kebun Raya Bogor, Mbah Jeprak di Suryakencana, Prabu Siliwangi di sepanjang Jalan Siliwangi, dan Mbah Dalem yang ‘berdiam’ di daerah Lawang Gintung.

Pada kenyataannya, membicarakan Pecinan Bogor akan selalu terhubung dengan mitos batas mistis yang menjadi pagar pengaman bagi kawasan Pecinan Surya Kencana. Dan, Klenteng Dhanagun telah berperan sebagai pusat perlindungannya. “Oleh karena itu,” ungkap Agni, “sejauh ini perkembangan terbesar komunitas Cina Bogor tidak pernah keluar dari batas mistis tersebut.”

  

Baca Juga: Tuan Treub, Sosok di Balik Keindahan Kebun Raya Bogor dan Silang Monas

Baca Juga: Wihara Dharmakaya, Riwayat Arsitektur Eropa di Klenteng Pecinan Bogor

 Baca Juga: Nestapa Warga Akibat Pencemaran Limbah Aki Bekas di Kabupaten Bogor

 Baca Juga: Dari Editor Agustus 2019: Merengungi Kembali Ramalan Piet Bleeker

        

Agni menduga, tampaknya orang Cina sudah masuk ke Bogor sebelum pembangunan Istana Bogor. “Pedagang Cina yang menguasai perekonomian di Banten banyak melakukan ekpedisi perdagangan ke ibu kota pemerintahan Pajajaran yang tepat terletak di Kecamatan Bogor Tengah sekarang.”Sejak Istana Bogor berdiri pada pertengahan abad ke-18, pusat kekuasaan baru bersumber pada bangunan itu. Lalu, muncul mitos seputar hubungan kelas sosial antarkawasan yang menyeruak di sekitarnya. “Mengapa di Kota Bogor ada cerita tentang Situ Gunting?” ujar Agni setengah bertanya. “Itu adalah sumber kekuatan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial.” Kemudian dia mengulang paparan lagi tentang mitos garis imajiner yang membentuk gunting. “Gunting itu pengaman yang melindungi orang-orang. Kalau klenteng [sebagai poros gunting] dirusak, hancurlah tata gunting itu.”