Nationalgeographic.co.id—Harta, takhta, dan wanita adalah godaan terbesar bagi kaum pria, begitulah kata pepatah. Namun ketiga hal itu juga merupakan hal-hal yang bisa membuat kaum lelaki betah hidup di suatu tempat.
Hal ini tampaknya dipahami betul oleh pejabat Hindia Belanda. Pada masa kolonial di Nusantara, Belanda mengimpor gadis-gadis ke Batavia.
"Impor gadis ini konon dilakukan agar orang-orang Belanda (khususnya kaum pria) menjadi betah tinggal di daerah koloni. Mereka akan punya anak dan keturunan, dan kelak bisa dijadikan tentara, buruh, juru tulis, dan sebagainya," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.
Dengan begitu, masa kekuasaan Belanda di daerah jajahan akan berlangsung lebih lama bahkan langgeng.
"Pria tidak akan bisa hidup tanpa wanita. Supaya orang-orang kompeni bisa mendapatkan pasangan yang pantas, yang membuahkan anak-anak untuk menjadi kolonis yang layak pula, kirimlah wanita-wanita muda," begitulah perintah Gubernur Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen yang berkuasa di Batavia pada 1617-1623.
Pada masa itu penduduk Batavia memang masih sangat sedikit. Masih didominasi orang-orang Belanda. Suasana kota cenderung terasa lengang, sepi, dan sunyi.
Sebelum JP Coen berkuasa, sebenarnya sudah didatangkan 36 wanita Belanda. Mereka diangkut dengan kapal-kapal laut yang berlayar selama sepuluh bulan. Mereka adalah para istri tentara dan istri karyawan kompeni, termasuk yang bekerja di lembaga VOC.
Beberapa wanita tersebut tewas dalam perjalanan. Yang masih hidup diserahkan ke Batavia dan sisanya dikirim ke Ambon yang juga telah dihuni kaum kolonialis. Jumlah perempuan dianggap masih sangat kecil sehingga diimpor lagi sejumlah gadis dari Eropa.
Pada 1621, tiga keluarga diberangkatkan ke Batavia dengan membawa beberapa gadis muda. Setibanya di daerah koloni, gadis-gadis muda itu diberikan seperangkat pakaian.
Baca Juga: Coen Geram, Ada Pelanggaran Seksual di Kantor VOC Batavia
Baca Juga: J.P. Coen Bersiasat Mencari Rahim Belanda untuk Prajurit VOC
Baca Juga: Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'
Baca Juga: J.P. Coen Memuji Warga Tionghoa, Namun Mengapa VOC Membantai Mereka?
Baca Juga: Jelang 400 Tahun Kastel Batavia, Arkeolog Menyingkap Satu Bastionnya
Mereka diharuskan teken kontrak untuk tinggal lima tahun di Batavia dan sekitarnya. Kalau di antara mereka mendapat jodoh, akan diberikan emas kawin oleh kompeni.
Sebanyak enam gadis lain tiba di Batavia pada 1622. Mereka mendapat julukan "putri-putri kompeni". Di tahun yang sama berangkat pula sejumlah gadis dari Amsterdam. Sebagian besar masih lajang, rata-rata berumum 11 tahun dan ada pula yang 20 tahun.
Para gadis impor itu kebanyakan berasal dari keluarga miskin. Tingkat pendidikan mereka juga rendah.
Konon mereka mau tinggal di Batavia hanya untuk mencari kekayaan. Setelah hidup kaya, mereka minta segera dipulangkan ke Eropa.
"Gadis-gadis Belanda datang ke Batavia dalam keadaan miskin. Kemudian kalau mereka sudah kaya, mereka tidak berhenti mengomel. Mereka ingin pulang memamerkan kekayaan mereka kepada kenalan dan tetangga," ungkap seorang pejabat kolonial.
Dalam perkembangannya kemudian, jumlah impor gadis dari Eropa mulai dikurangi, bahkan dihentikan. Akibatnya, orang-orang Belanda di Batavia mulai makin melirik perempuan-perempuan Asia.
Sebenarnya sudah banyak juga orang kompeni yang menjalin asmara dengan perempuan pribumi di Nusantara atau perempuan India. Banyak perempuan di Nusantara yang dijadikan gundik atau nyai oleh laki-laki Belanda.