Ketika Orang-Orang Belanda Minum Air Bekas Mandi Warga Batavia

By Utomo Priyambodo, Jumat, 13 Mei 2022 | 16:00 WIB
Sungai Ciliwung di Batavia pada masa kolonial Belanda. (Tropenmuseum/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculture)

Nationalgeographic.co.id—Orang-orang Jakarta sekarang mungkin ogah mandi di Sungai Ciliwung. Selain airnya kotor, baunya juga tak sedap. 

Namun dulu ketika zaman kolonial Belanda, air Kali Ciliwung masih bening dan bersih. Tidak tercemar seperti sekarang. 

Kali Ciliwung tempo dulu menyimpan banyak kisah. Salah satunya tentang anak-anak remaja pria yang mandi telanjang di kali tersebut. 

"Sebenarnya mereka sudah cukup besar, dan sudah selayaknya mengenakan pakaian dalam. Tapi mereka cuek saja mandi telanjang. Sementara, kaum ibu mencuci pakaian di tempat yang sama," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.

Di lain waktu, saat anak-anak sedang mandi, tiba-tiba seorang dari mereka menyatakan ingin buang air besar. 

"Sudah kebelet nih, Bu," ujarnya sambil memegang perut.

Ibunya yang sedang mencuci pakaian di situ, langsung menyuruh anak itu pulang supaya buang air besar di rumah saja. Si anak, dalam keadaan telanjang, berlari terburu-buru lantaran perutnya sudah mules berat.

Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda melarang penduduk Batavia menggunakan Kali Ciliwung sebagai "kakus". Ciliwung hanya boleh dipakai untuk mencuci pakaian dan mandi. Airnya harus terjaga, tetap jenih dan bersih. 

Hingga sampai awal abad ke-19, air Ciliwung digunakan oleh orang-orang Belanda sebagai air minum. Air kali itu mula-mula ditampung dalam semacam waduk (waterplaats). Lokasi waduk itu semula dibangun di dekat benteng Jacatra di bagian utara kota, kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet di sekitar daerah Glodok sekarang.

Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian sekitar tiga meter. Daerah di sekitar waduk dinamakan pancuran, yang kemudian dikenal dengan nama Pancoran.

    

Baca Juga: Upaya Memuliakan Ciliwung, 'Ular Panjang' Pembangun Peradaban Jakarta