Merapah Rempah: Rumphius dan Riwayat Kacang Tanah di Nusantara

By Utomo Priyambodo, Senin, 16 Mei 2022 | 14:00 WIB
Potret ilmuwan buta VOC, Georg Everhard Rumphius. Keberadaan kacang di Nusantara pertama kali dicatat oleh Rumphius dalam bukunya yang berjudul Herbarium Amboinense. (KITLV)

Jalur rempah mempertemukan Nusantara dengan gurihnya kacang tanah. Siapa yang membawanya?

    

Nationalgeographic.co.id—Naskah tertua yang mencatat keberadaan kacang tanah di Indonesia adalah adikarya seorang buta yang tak pernah melihat hasil akhir karya itu. Pria itu bernama Georg Eberhard Rumpf. Kelak, dia lebih dikenal dengan nama Latinnya, Georgius Everhardus Rumphius.

Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon yang dia tulis, baru diterbitkan pada 1741, berselang 39 tahun sejak dia wafat. Adikarya itu terbit dalam enam volume, 1.660 halaman, hampir 700 gambar dan perian sekitar 1.200 jenis tumbuhan.

Rumphius mengerjakannya sejak tiba di Ambon pada 1653. Pada awalnya penglihatannya masih normal. Namun, pada 1670 penyakit glaukoma membuat kedua matanya menjadi buta total. Ketika itu usianya masih 43 tahun. Musibah ini disusul dengan meninggalnya putri dan istrinya. Sang istri berasal dari Ambon, yang bernama Susanna, membantunya menulis buku itu. Kedua anggota keluarga Rumphius itu meninggal akibat gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang melanda Ambon pada 1674.

Rumphius merampungkan manuskrip Herbarium Amboinense pada akhir 1690. Dia mendapat banyak bantuan mata dan tangan orang lain, termasuk putranya yang bernama Paulus Augustus. Karena kegigihannya dalam meneliti dan mencatat flora di Maluku, Rumphius dijuluki sebagai “si buta yang bisa melihat dari Ambon.”

Riwayat perjalanan naskahnya juga sangat dramatis. Mula- mula naskah itu dikirim dari Ambon ke Batavia pada 1690, lalu diteruskan ke Belanda untuk diterbitkan di sana. Mengingat perjalanan sangat jauh dan penuh risiko, Gubernur Jenderal Camphuys segera memerintahkan pembuatan salinan untuk ditinggalkan di Batavia.

Benar saja, naskah asli yang dibawa kapal Waterland tak pernah sampai ke Belanda. Di tengah pelayaran, kapal itu dihadang pertempuran laut dengan Prancis pada 12 September 1692. Kapal itu tenggelam beserta seluruh isinya. Barulah pada 8 Februari 1696, naskah salinannya dikirim dengan kapal Sir Janslandt. Akhirnya, naskah itu tiba di Belanda.

Namun, Heeren Zeventien atau Dewan Tujuh Belas, para penentu kebijakan VOC di sana, tidak segera menyetujui penerbitan naskah itu. Salah satu pertimbangannya, naskah itu berisi hal-hal sensitif terkait perdagangan mereka. Hampir 40 tahun setelah kematian Rumphius barulah naskah itu disetujui untuk diterbitkan.

Dia menyebutkan banyak tanaman, termasuk kacang tanah yang tumbuh subur di Maluku. “Jadi Rumphius waktu dia keliling-keliling di Indonesia timur, daerah Sulawesi, Ambon, Ternate, Tidore, dan lan-lain, dia sudah menjumpai itu kacang di akhir abad ke-17, menjelang abad ke-18,” ujar Ary Budiyanto, antropolog sekaligus peneliti kuliner dari Universitas Brawijaya. “Dan Rumphius juga bilang bahwa di abad yang sama kacang sudah banyak ditemukan di Batavia dan dibawa oleh orang-orang Cina,” tambahnya.

Fadly Rahman, sejarawan makanan dari Universitas Padjajaran, juga mengatakan bahwa kacang tanah sudah mulai dibudidayakan di Batavia dan pesisir Jawa pada abad ke-17, terutama oleh orang-orang Cina. “Sehingga tidak heran kalau di kalangan masyarakat pribumi menyebut kacang tanah ini sebagai ‘kacang cina’ di masa-masa itu,” tuturnya. “Karena memang diusahakan, dibudidayakan, hingga diperdagangkan oleh orangorang Tionghoa di pasar-pasar.”

Kacang tanah, atau Arachis hypogaea, adalah tanaman asli dari Amerika Selatan. Tanaman ini diyakini tersebar ke seluruh dunia berkat kegigihan para pelaut-pedagang Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Tumbuhnya benih-benih kacang tanah di Nusantara berkat para pedagang Tiongkok yang membawanya lewat Jalur Rempah Nusantara.