Nationalgeographic.co.id—Kebijakan agraria dan pertanahan secara legal formal, tercatat dalam sejarah Indonesia dimulai dari kebijakan Gubernur Jenderal Raffles dalam pemerintahannya yang singkat, antara tahun 1811-1816.
Ia menyatakan kebijakannya dengan domein theory yang intinya menyatakan, semua tanah di Negeri Hindia-Belanda adalah "milik raja atau pemerintah."
"Atas dasar kebijakan itu pula Raffles ,elakukan penarikan pajak bumi yang dikenal sebagai landrente," tulis Hotman M. Siahaan dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang terbit pada 2000.
Landrente mengharuskan petani membayar pajak 2/5 dari hasil tanahnya. Pajak ini berdasarkan asumsi, rakyat—para petani pribumi—adalah penyewa, sedangkan pemilik tanah adalah pemerintah kolonial.
Inilah teori domein yang sangat mempengaruhi kebijakan agraris Pemerintah Hindia Belanda, khususnya ketika Gubernur Jenderal van den Bosch memberlakukan Cultuurstelsel pada tahun 1830.
Tanam paksa atau Cultuurstelsel pada dasarnya mendasarkan diri pada teori domein ala Raffles, di mana para kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah, selanjutnya kepala desa meminjamkan kepada petani.
"Kebijakan tanam paksa ala van den Bosch memaksa petani menanam sepertiga dari tanahnya dengan tanaman yang ditentukan pemerintah," lanjut Hotman.
Adapun tanaman yang ditentukan pemerintah kolonial berupa nila, kopi, dan tembakau yang merupakan komoditas komersial yang hasilnya diserahkan pada pemerintah kolonial.
Dihapuskannya Cultuurstelsel yang penuh penindasan tersebut, mengubah kebijakan agraria yang mengarah pada hadirnya modal swasta di Negeti Hindia-Belanda.
Hotman menjelaskan, "Penghapusan itu juga menandai babak baru dalam sejarah agraria di negeri jajahan ini, yaitu diundangkannya pada 9 April 1870, undang-undang Agraria."
RUU Agraria yang diajukan Menteri Jajahan, de Waal, disahkan menjadi UU yang disebut Agrarische Wet, atau penyebutan kurang populernya, Akkerwet (Staatsblad No. 55 /1870).