Menjaga Keanekaragaman dan Kebutuhan Lewat Nilai Konservasi Tinggi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 1 Juni 2022 | 08:01 WIB
Alam dan budaya punya peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia dan spesies lainnya di Bumi. Penggunaan lahan yang bijak dan penetapan ketat konservasi lewat nilai karbon tinggi (NKT) bisa menjaganya tetap lestari. (RICKY MARTIN/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Alam Bumi tidak baik-baik saja. Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IBES) lewat laporan di tahun 2019, status keanekaragaman hayati planet kita makin mengkhawatirkan. Setidaknya 80 persen dari satwa mamalia telah punah, akibat kerusakan ekosistem yang terjadi 100 kali lebih cepat.

Kendati demikian, kebutuhan manusia, lewat produksi industri, semakin meningkat dan tak jarang menggeser peralihan ekosistem. Mulai dari bahan baku sampai pembuangan, memiliki limbah yang juga mengancam keanekaragaman hayati.

Namun, adakah solusi untuk keseimbangan antara konservasi dan kebutuhan kita? Manusia punya tanggung jawab untuk ini demi masa depan Bumi.

Aisyah Sileuw, Presiden Direktur Daemeter Consulting mengatakan semua pihak, khususnya pemerintah dan perusahaan bisa memperhitungkan pemetaan nilai konservasi tinggi (NKT) atau high conservation value (HCV). Daemeter Counsulting adalah perusahaan di bidang konsultasi pengelolaan sumber daya alam yang bertujuan mencapai pembangunan berkelanjutan.

NHT pertama kali diperkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC). Lembaga ini adalah pengatur standar organisasi untuk pengelolaan hutan agar lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Perlahan-lahan adopsinya pun kian digunakan oleh berbagai lembaga.

"Nilai konservasi itu tidak saja berada di kawasan hutan atau wilayah berhutan, tetapi juga di wilayah lain. Misalnya seperti sabana dan sebagainya. Jadi, fokusnya (NKT) adalah bagaimana nilai konservasi itu dibentuk, wilayahnya bisa hutan dan non-hutan," terang Aisyah.

"Ada penggunaan NKT di luar kehutanan. Jadi ada berbagai komoditas pertanian, misalnya seperti gula sawit, terus kemudian ada aqua culture yang menggunakan pendekatan ini agar lebih clear bagaimana mengelola lahan tersebut," lanjutnya.

Ia menerangkannya di Belantara Learning Series bertajuk Nilai Konservasi Tinggi dan Stok Karbon Tinggi untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati Indonesia pada Selasa 31 Mei 2022. Kegiatan itu diadakan oleh Belantara Foundation berkolaborasi dengan Fakultas Biologi Universitas Indonesia (UI), Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER) FMIPA UI, dan Daemeter Consulting.

Baca Juga: Eupera troglobia, Spesies baru Moluska Penghuni Gua dari Brasil

Baca Juga: Studi: Ada Banyak Kawasan Lindung Tetapi Tidak Semua Layak Konservasi

Baca Juga: Studi 100 Ilmuwan Dunia: Masih Ada 9.200 Spesies Pohon Belum Ditemukan

Baca Juga: Mengakali Daging: Cara Pencinta Daging Bisa Turut Menyelamatkan Bumi

"Kita ingin membantu para pihak yang punya komitmen untuk deforestation free," paparnya. Untuk menetapkan suatu kawasan NKT, ada kajian yang disebut stok karbon tinggi. "Kalau sudah punya komitmen bahwa bisnis Anda tidak menyebabkan deforestasi, jadi ini (stok karbon tinggi) yang mendorong."

Lewat stok karbon tinggi, pihak yang akan menggunakan lahan akan membedakan antara kawasan hutan dan yang terdegradasi, terutama hal nilai karbon dan keanekaragaman hayatinya. Cara ini bisa dibisa digunakan secara praktis, transparan, kuat, dan kredibel secara ilmiah, Aisyah menjelaskan.

Untuk memenuhi komitmen nol deforestasi, perusahaan harus patuh dan paham betul kawasan mana yang bisa digunakan dan yang harus dikonservasi. (Mighty Earth)

Penggunaan lahan kemudian bisa memperhitungkan kawasan yang semestinya dikonservasi dan tidak boleh rusak. Aisyah menyebut, ada enam kawasan konservasi dalam penilaian NKT.

Pertama HCV 1, yakni wilayah yang memiliki konsentrasi keanekaragaman biologis yang mencakup spesies endemik, spesies langka, terancam atau terancam punah yang signifikan di tingkat global, regional, atau nasional.

"Jadi [kawasan ini] intinya itu fokus pada spesies-spesies yang punya status RTE (Rare, threated, and endangered) di wilayah hutan. Biasanya mereka masih ada di Taman Nasional, kawasan lindung, hutan lindung, dan lain sebagainya," jelasnya.

Spesies langka seperti bunga bangkai, tanaman madu, badak, dan harimau sumatra bisa menjadi fokus HCV ini.

"Misalnya kalau kita lihat floranya, ada bunga bangkai kemudian ada mungkin kita lihat ada tanaman madu itu kita bisa golongkan spesies ini. Terus ada fauna, ada badak, gajah, harimau sumatra.

Kemudian ada HCV 2 yang terkait dengan bentang alam yang luas. Biasanya penetapan HCV 2 dalam konservasi berupa ekosistem dan mosaiknya dalam level lanskap yang luas dan memiliki pengaruh terhadap di dunia atau sekitarnya. Di dalam bentangnya ada spesies alami yang memiliki pola persebaran.

Selanjutnya ada ekosistem langka dan terancam punah yang bisa masuk sebagai HCV 3. Misalnya, terang Aisyah, hutan Kerangas di Kalimantan Barat ada banyak tumbuhan kecil yang luput seperti flora dilindungi yang khas di sana.

"Ini kalau situasinya jadi rusak, maka hutan ini sudah enggak ada lagi. Kita tidak ingin terjadi. Kita lindungi habitatnya untuk bisa melindungi spesiesnya," jelasnya.

Kincir air yang mengandalkan tenaga gravitasi dan hidrolik ini telah memasok kebutuhan air bersih warga. Karena kebutuhan air sangat tinggi, maka sumbernya bisa dimasukan sebagai kawasan konservasi. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Pemetaan NKT juga perlu memperhatikan konservasi jasa lingkungan dan ekosistem sebagai HCV 4. Sebab, kawasan yang menjadi HCV 4 seperti daerah tangkapan air dan mengontrol erosi, berfungsi dalam situasi penting.

Penetapan dan konservasi di kawasan ini yang berikutnya akan menopang untuk kebutuhan dasar masyarakat.

"Meskipun yang bergantung itu hanya sejumlah penduduk di desa, itu harus kita anggap sebagai kawasan yang punya nilai konservasi," ia menjelaskan. Jika kawasan HCV 4 rusak dampaknya tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga nilai konservasi pada kawasan lain.

Kebutuhan masyarakat pun perlu dikonservasikan sebagai HCV 5. "Kita lihat ada sandang, pangan, papan, sebagai kebutuhan kita," ujarnya. "Tetapi di HCV itu didetailkan lagi. Pangan itu ada karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, dan air."

Sehingga, wilayah yang memiliki kekayaan sumber gizi untuk masyarakat patut dikonservasikan. Jika nanti kebutuhan HCV 5 berkonflik dengan kepentingan HCV 1, perlu ada pembahasan pengelola bagaimana kebutuhan masyarakat dan konservasi terlindungi.

Terakhir, konservasi bukan perkara lingkungan keanekaragaman hayati, tetapi juga pada nilai budaya. Kawasan yang dimasukkan sebagai HCV 6 ini penting untuk tempat untuk menjaga budaya dan identitas masyarakat.

Salah satu yang jadi perdebatan adalah kawasan makam yang kerap dijadikan tempat ritual tradisional. Pemakaman umum di pedesaan, terang Aisyah, tidak bisa ditetapkan sebagai HCV 6 kecuali di dalamnya ada makam nenek moyang atau tokoh yang dilindungi masyarakat. "Itu bisa saja, tapi lihat kasus dan konteksnya," terangnya.