Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia

By Utomo Priyambodo, Kamis, 26 Mei 2022 | 08:00 WIB
Lukisan tentang suasana Batavia karya Johannes. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Saat berkuasa di Batavia pada abad ke-17, pemerintah Hindia Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) banyak mengeluarkan peraturan aneh. Mulai dari yang bersifat fisik hingga yang bersifat psikis atau mental.

Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen misalnya, dibangunlah tembok besar sebagai pelindung wilayah kota. Tembok ini mengelilingi area mulai dari Kastil Batavia sampai ke dua pintu gerbang, yakni Utrechtsepoort di sebelah barat dan Nieuwpoort di sebelah selatan, sehingga membentuk dua wilayah yang disebut intramuros (dalam tembok).

"Konon, oleh warga masyarakat pada masa itu, tembok tersebut dianggap sebagai pembatasan bahkan pengekangan terhadap pergaulan warga dengan orang-orang di perbatasan wilayah Banten ataupun Mataram," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.

"Dengan pembangunan tembok besar itu, warga kota Batavia menjadi terkurung. Ini membuat mentalitas warga bagaikan katak dalam tempurung, merasa menjadi warga kota besar, padahal boleh jadi malah tertinggal dari kehidupan orang-orang di luar Batavia, khususnya Banten dan Bekasi," kata seorang pengamat sejarah, seperti yang dikutip oleh Zaenuddin.

Berbagai peraturan yang dikeluarkan pada masa kekuasaan VOC umumnya berkenaan dengan masalah keamanan, kegiatan ekonomi yang menghasilkan keuntungan finansial, menjaga kebersihan atau kesehatan kota, gaya hidup, dan yang menyangkut gaya hidup orang Eropa di Batavia.

Salah satu peraturan mengenai keamanan Batavia adalah orang-orang Jawa tidak boleh membawa keris kalau akan masuk ke kota tersebut. Peraturan ini dikeluarkan pada 21 Januari 1638. Siapa pun dilarang membawa keris atau senjata jenis apa pun tanpa izin. Bagi warga yang ketahuan melanggar, senjatanya disita dan yang membawanya kena hukuman rantai 3 tahun.

Kemudian pada 6 Agustus 1640, dikeluarkan peraturan yang melarang orang-orang Jawa (Javanen) tinggal di Batavia. Bahkan mereka juga dilarang masuk ke area kastil, kecuali didampingi pejabat yang memberi izin.

Baca Juga: Kala JP Coen Berkolusi dengan Bengkong di Batavia hingga VOC Bangkrut

Baca Juga: Belanda Melempar Tahi di Kota Batavia, Lahirlah Tanah Betawi

Baca Juga: Ketika Orang-Orang Belanda Minum Air Bekas Mandi Warga Batavia

Orang-orang Tionghoa di Batavia juga terkena larangan memasang petasan pada saat Imlek. Larangan ini tertuang lewat peraturan yang diedarkan pada 12 April 1697.

Larangan ini kemudian diperluas lagi waktunya, yakni kapan pun warga dilarang memasang petasan lantaran sering terjadi kebakaran rumah dalam kota. Bila ada warga Tionghoa yang memasang petasan, ia akan ditangkap dan ditahan.

Pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan peraturan pemungutan pajak guna menghimpun dana untuk pembangunan kota. Dalam hal ini VOC dianggap culas dan hanya "modal dengkul" untuk membangun Batavia, sebab dananya dibebankan kepada penduduk, terutama orang-orang Tionghoa berduit dan kaum pribumi yang menjadi tuan-tuan tanah. Untuk tahun 1756 saja sudah ada 15 jenis pungutan pajak yang dikenakan kepada warga Batavia.

Peraturan aneh lainnya, terkait dengan penjual sirih. Para penjual sirih di Batavia, yang kebanyakan datang dari Jawa, diharuskan mengemas dagangannya dalam ikatan sebesar kira-kira 46 sentimenter. "Entah mengapa peraturannya begitu," tulis Zaenuddin.

Lalu ada pula peraturan aneh yang mengenai pedagang roti di Batavia. Para pedagang roti tidak boleh mengantarkan barang dagangannya ke pembeli lewat pukul 08.00 pagi. Yang melanggarnya, pasti kena sanksi.