Nationalgeographic.co.id - Sebuah tim peneliti dari Universitas Kopenhagen telah sampai pada hasil utama mengenai populasi bintang di luar Bimasakti. Hasilnya dapat mengubah pemahaman kita tentang berbagai fenomena astronomi, termasuk pembentukan lubang hitam, supernova, dan mengapa galaksi mati.
Selama manusia telah mempelajari langit, bagaimana bintang terlihat di galaksi yang jauh telah menjadi misteri. Namun, dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di The Astrophysical Journal pada 25 Mei 2022 dengan judul "Implications of a Temperature-dependent Initial Mass Function. I. Photometric Template Fitting", tim peneliti di Institut Niels Bohr Universitas Kopenhagen menghilangkan pemahaman sebelumnya tentang bintang di luar galaksi kita sendiri.
Sejak 1955, telah diasumsikan bahwa komposisi bintang-bintang di galaksi lain di alam semesta serupa dengan komposisi ratusan miliar bintang di dalam galaksi kita sendiri yang terdiri dari campuran bintang-bintang masif, bermassa sedang, dan bermassa rendah.
Akan tetapi dengan bantuan pengamatan dari 140.000 galaksi di seluruh alam semesta dan berbagai model canggih lainnya, tim telah menguji apakah distribusi bintang yang sama terlihat di Bimasakti berlaku juga di tempat lain. Jawabannya adalah tidak. Bintang di galaksi jauh biasanya lebih masif daripada bintang di "lingkungan lokal" kita. Temuan ini memiliki dampak besar pada apa yang kita pikir kita ketahui tentang alam semesta.
"Massa bintang memberi tahu kita, para astronom, banyak hal. Jika Anda mengubah massa, Anda juga mengubah jumlah supernova dan lubang hitam yang muncul dari bintang masif. Dengan demikian, hasil kami berarti bahwa kami harus merevisi banyak hal yang pernah kita duga sebelumnya, sebab galaksi jauh terlihat sangat berbeda dari galaksi kita sendiri," kata Albert Sneppen, seorang mahasiswa pascasarjana di Niels Bohr Institute dan penulis pertama studi tersebut, seperti yang dilaporkan Tech Explorist.
Para peneliti berasumsi bahwa ukuran dan berat bintang di galaksi lain serupa dengan yang ada di galaksi kita selama lebih dari lima puluh tahun, karena alasan sederhana bahwa mereka tidak dapat mengamatinya melalui teleskop, seperti halnya dengan bintang-bintang di galaksi kita sendiri.
Galaksi-galaksi jauh berjarak miliaran tahun cahaya. Akibatnya, hanya cahaya dari bintang mereka yang paling kuat saja yang dapat mencapai Bumi. Ini telah memusingkan para peneliti di seluruh dunia selama bertahun-tahun, karena mereka tidak pernah bisa secara akurat menjelaskan bagaimana bintang-bintang di galaksi lain didistribusikan, sebuah ketidakpastian yang memaksa mereka untuk percaya bahwa mereka didistribusikan seperti bintang-bintang di Bimasakti kita.
Baca Juga: Astronom Mendeteksi Laser Galaksi Ultra Kuat 'Megamaser' Terjauh
Baca Juga: Misterius, Objek Luar Angkasa Ini Kirim Gelombang Radio Tiap 18 Menit
Baca Juga: Bukan Tanda Supernova, Misteri Redupnya Betelgeuse Akhirnya Terungkap
"Kita hanya dapat melihat puncak gunung es dan telah lama mengetahui bahwa mengharapkan galaksi lain terlihat seperti galaksi kita sendiri bukanlah asumsi yang baik untuk dibuat. Namun, tidak ada yang pernah mampu membuktikan bahwa galaksi lain membentuk populasi bintang yang berbeda. Studi ini memungkinkan kami untuk melakukan hal itu, yang dapat membuka pintu untuk pemahaman yang lebih dalam tentang pembentukan dan evolusi galaksi," kata Associate Professor Charles Steinhardt, rekan penulis studi tersebut.
Dalam studi itu, para peneliti menganalisis cahaya dari 140.000 galaksi menggunakan katalog COSMOS, database internasional besar yang berisi lebih dari satu juta pengamatan cahaya dari galaksi lain. Galaksi-galaksi ini terdistribusi dari jarak terdekat hingga terjauh dari alam semesta, dari mana cahaya telah menempuh perjalanan dua belas miliar tahun penuh sebelum dapat diamati di Bumi.
Menurut para peneliti, penemuan baru ini akan memiliki implikasi yang luas. Misalnya, masih belum terpecahkan mengapa galaksi mati dan berhenti membentuk bintang baru. Hasil baru menunjukkan bahwa ini mungkin dijelaskan oleh tren sederhana.
"Sekarang kita lebih mampu memecahkan kode massa bintang, kita dapat melihat pola baru; galaksi yang paling tidak masif terus membentuk bintang, sedangkan galaksi yang lebih masif berhenti melahirkan bintang baru. Ini menunjukkan tren kematian galaksi yang sangat universal," simpul Sneppen.