Dampak Perubahan Iklim: Spesies Invasif, Suhu, dan Siklus Nitrogen

By Wawan Setiawan, Rabu, 8 Juni 2022 | 07:00 WIB
Hogweed raksasa, tanaman invasif yang getahnya dapat menyebabkan luka bakar dan jaringan parut. Perubahan iklim termasuk suhu, kelembaban, dan curah hujan, dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi peningkatan penyebaran spesies invasif. (Roman Demkiv/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Spesies invasif adalah organisme yang menyebabkan kerusakan ekologi atau ekonomi di lingkungan baru, yang bukan habitat asli wilayah tersebut.

Spesies jenis ini kini sedang meningkat akibat aktifitas perdagangan dan perjalanan yang mempercepat pengenalan dan penyebaran spesies baru. Fenomen semacam ini belum pernah terlihat dalam sejarah manusia.

Bersamaan dengan itu, iklim kita yang berubah pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya—iklim ekstrem. Musim dingin yang berakhir cepat, musim tanam yang panjang, air yang memanas, peningkatan kadar CO₂, serta pencairan es glasial dan naiknya muka laut. Sementara dua fenomena terakhir ini masing-masing menjadi tantangan yang menakutkan bagi keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistemnya sendiri. Dampak ini dapat berakumulasi secara sinergis yang pada akhirnya menghadirkan rintangan tambahan bagi konservasi dan keberlanjutan.

Selama dua dekade terakhir, bukti substansial telah menunjukkan bahwa perubahan iklim akan secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kehidupan spesies. Dampaknya pada pengenalan, pembentukan, penyebaran, dan pengaruhnya terhadap semua taksa spesies invasif. Cakupannya mulai dari hama hutan hingga spesies tanaman darat. Namun, para peneliti sedang mengeksplorasi strategi untuk menghindari dampak itu. 

Pemilik dan pengelola lahan, perencana dan petani, serta pembuat kebijakan secara aktif mencari jawaban. Mereka menimbang cara terbaik untuk mempersiapkan perubahan ini guna memasukkan perubahan iklim ke dalam kebijakan dan rencana pengelolaan spesies invasif mereka. Namun, pemahaman yang jelas tentang apa perubahan ini akan diperlukan untuk menghasilkan solusi.

Penelitian baru yang dipimpin oleh University of Massachusetts Amherst, dan telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 27 Mei 2022. Judulnya, Global environmental changes more frequently offset than intensify detrimental effects of biological invasions. 

Para peneliti menemukan bahwa efek ekologi dari spesies invasif sebanding dengan efek gabungan dari invasif ditambah suhu pemanasan, kekeringan atau deposisi nitrogen. Ini menunjukkan bahwa situasi kritis untuk perubahan iklim adalah mengelola spesies invasif di tingkat lokal.

Bukan rahasia lagi bahwa kesehatan ekologis planet ini berada di bawah ancaman serius. Para ilmuwan sebelumnya telah mengidentifikasi beragam permasalahan. Spesies invasif, kekeringan akibat suhu yang meningkat dan siklus nitrogen yang berubah sebagian diakibatkan oleh meluasnya penggunaan pupuk sintetis. Inilah salah satu tantangan planet yang paling serius sehingga perubahan iklim global menempati urutan teratas.

Berdasarkan hal tersebut, banyak yang berasumsi bahwa perubahan iklim akan secara konsisten memperkuat efek negatif dari spesies invasif—tetapi, sampai sekarang, tidak ada penelitian untuk menguji asumsi itu. "Kabar baiknya," kata Bethany Bradley, profesor konservasi lingkungan di UMass Amherst dan penulis senior makalah tersebut, "adalah bahwa kabar buruknya tidak seburuk yang kita kira."

Hemlock woolly adelgid, atau HWA, adalah serangga ordo Hemiptera yang berasal dari Asia Timur. Serangga ini makan dengan mengisap getah dari pohon hemlock dan cemara. (Connecticut Agricultural Experiment Station Archive, United States / Wikipedia)

Untuk mencapai kesimpulan ini para peneliti berupaya menyingkap efek ekologis dari spesies invasif. Tim penelitinya dipimpin oleh Bianca Lopez, yang melakukan penelitian sebagai bagian dari riset pascadoktoralnya di UMass Amherst, dan Jenica Allen, profesor konservasi lingkungan di UMass Amherst.

Mereka melakukan meta-analisis dari 95 penelitian yang diterbitkan sebelumnya. Dari pekerjaan sebelumnya ini, para peneliti menemukan 458 kasus yang melaporkan efek ekologis dari spesies invasif yang dikombinasikan dengan kekeringan, nitrogen, atau pemanasan global.

"Apa yang kami temukan telah mengejutkan kami," kata Lopez. "Ada sejumlah kasus di mana interaksi membuat segalanya lebih buruk pada skala lokal yang kami harapkan, tetapi hanya sekitar 25% dari waktu. Sebagian besar waktu, invasi dan perubahan lingkungan bersama-sama tidak membuat satu sama lain lebih buruk. Sebaliknya, efek gabungan tidak lebih dari dampak spesies invasif saja."

   

Baca Juga: Sains di Balik Rencana Australia Musnahkan Lebih dari 10.000 Kuda Liar

Baca Juga: Ilmuwan Jelaskan Kenapa Ikan Mas di Minnesota Bisa Tumbuh Raksasa

Baca Juga: Limbah Plastik di Laut Menjadi Tempat Berkembangnya Spesies Invasif

Baca Juga: Jutaan Laba-laba Raksasa Menginvasi Georgia, Amerika Serikat

    

"Apa yang sangat penting tentang temuan kami," kata Allen, "adalah bahwa mereka menyoroti pentingnya mengelola spesies invasif pada skala lokal." Dan skala lokal adalah skala di mana tindakan yang efektif dan cepat paling mungkin terjadi.

Faktanya, seperti yang ditunjukkan Allen, itu sudah terjadi. "Organisasi seperti Northeast Regional Invasive Species and Climate Change (RISCC) Network, yang merupakan konsorsium ilmuwan dan manajer sumber daya alam yang didedikasikan untuk berbagi informasi juga praktik terbaik tentang menangani invasif, sudah menerapkan berbagai praktik proaktif untuk menangani spesies invasif."

Dan karena menghadapi spesies invasif relatif hemat biaya—bahkan tidak memerlukan inovasi teknologi masa depan—maka kemajuan nyata dapat dibuat saat ini. Terutama dengan mencegah penyebaran tanaman invasif sebelum mereka mengambil alih.

"Pekerjaan kami menunjukkan bahwa berurusan dengan spesies invasif sekarang akan membuat ekosistem kita lebih tahan terhadap iklim," simpul Bradley.