Perdagangan Ular di Indonesia Disorot: Apakah Cukup Berkelanjutan?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 7 Juni 2022 | 09:00 WIB
Ular sanca darah banyak dijual dari Indonesia. (Tambako The Jaguar/Flickr)

Nationalgeographic.co.id—Perdagangan satwa liar adalah industri bernilai jutaan dolar Amerika Serikat. Meseki beberapa hewan diperdagangkan secara legal, sesuai dengan undang-undang yang bertujuan untuk melindungi populasi, perdagangan satwa liar terus berkembang di banyak tempat dan banyak yang ilegal.

Perdagangan satwa liar secara ilegal ini tentunya mengancam keberadaan spesies-spesies berharga hingga di ambang kepunahan. Banyak reptil diekspor dalam jumlah besar, tidak terkecuali juga ular.

Kebanyakan ular diperdagangkan untuk diambil kulitnya dan digunakan dalam produk-produk kulit mewah. Sebagian lainnya dijual untuk dijadikan hewan peliharaan.

Dalam kasus ular sanca darah, yang panjangnya bisa mencapai 250 sentimeter, ada indikasi yang jelas dari perdagangan yang salah, tidak dilaporkan, atau ilegal yang melibatkan puluhan ribu individu di seluruh dunia.

Menurut Vincent Nijman, profesor antropologi di Oxford Brookes University di Inggris, panen dan perdagangan spesies ular tertentu, terutama yang umum dan memiliki hasil reproduksi yang tinggi, dapat berkelanjutan (sustainable). Tapi bagaimana kita memastikan perdagangan ular itu benar-benar berkelanjutan?

"Keberlanjutan paling baik dinilai dengan mensurvei populasi-populasi hewan liar, tetapi ini membutuhkan waktu dan usaha," ujar Nijman.

"Metode alternatifnya adalah dengan menggunakan data dari rumah jagal dan membandingkan bagaimana parameter-parameter tertentu (seperti jumlah ular, ukuran, jantan vs betina) berubah dari waktu ke waktu."

Metode ini telah digunakan oleh beberapa kelompok peneliti untuk menilai keberlanjutan panen dan perdagangan ular sanca darah di Indonesia. Hasil dari penilaian ini sangat bervariasi, dengan beberapa peneliti mengklaim perdagangan berkelanjutan, dan yang lainnya tidak dan populasinya menurun.

"Masalah utama dengan penilaian ini adalah bahwa meskipun mereka dapat mendeteksi perubahan, misalnya, jumlah ular sanca darah yang tiba di rumah-rumah jagal, tidak jelas apakah ini disebabkan oleh perubahan populasi hewan liar tersebut, perubahan area panen, metode panen, atau perubahan aturan yang mengizinkan panen," urai Nijman seperti dikutip dari Alpha Galileo.

Ular sanca darah. (Branwen/Flickr/Wikimedia Commons)

Dengan menggunakan informasi yang tersedia untuk umum, dan mencari bukti perdagangan gelap, ia menetapkan apakah ada data yang cukup untuk menilai apakah ular sanca darah memang dieksploitasi secara berkelanjutan di Indonesia.

"Tidak ada data konklusif yang mendukung bahwa pemanenan ular sanca darah di Sumatra Utara berkelanjutan, tetapi ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan ini ilegal," tulis Nijman menunjukkan temuannya ini dalam makalah penelitiannya yang diterbitkan di jurnal akses terbuka Nature Conservation.