Kolonialisme Mengubah Sistem Tradisonal Persawahan Banten Abad Ke-19

By Galih Pranata, Jumat, 24 Juni 2022 | 11:00 WIB
Lukisan keraton Banten sekitar 1859-1861. Sejak 1808, Herman Willem Daendels mulai menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta mewajibkan kerja bakti yang melekat pada tanah-tanah itu. (Wikimedia Commons)

Tak berhenti di situ, pemerintah juga memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun selanjutnya, Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah.

   

Baca Juga: Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'

Baca Juga: Kematian Paling Tragis Pieter Erberveld Akibat Mengkhianati VOC

Baca Juga: Di Balik Kuasa Kesultanan Banten dalam Perniagaan Mancanegara

Baca Juga: Penyakit Kelamin Menjangkiti Kekuatan Militer Hindia Belanda

    

Pemegang-pemegang hak atas tanah pusaka menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti, sedangkan pemilik-pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka. Akan tetapi ketentuan-ketentuan itu telah membuka kesempatan bagi perbuatan sewenang-wenang yang serius.

Dalam perjalanan waktu, hak-hak yang turun-temurun atas sawah negara, baik sebagai pusaka maupun sebagai pecaton, dan atas sawah yasa, menjadi sumber-sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja.

Keserakahan dan kebiadaban menyulut gejolak sosial. Jelaslah bahwa anggota-anggota kerabat sultan dan pejabat-pejabat kesultanan, orang-orang yang paling beruntung di bawah sistem yang lama, cenderung untuk menghendaki kembalinya kebiasaan-kebiasaan tradisional.

"Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas dan itulah yang dianggap sebagai sumber kerusuhan-kerusuhan di Banten sampai tahun 1830," pungkasnya.