Studi pada Biksu Tibet Ungkap Keuntungan dari Tradisi Hidup Selibat

By Utomo Priyambodo, Jumat, 24 Juni 2022 | 15:00 WIB
Biksu senior mengajari para biksu muda. Beberapa keluarga di Tibet bertradisi mengirim salah satu putra mereka yang masih kecil ke biara setempat untuk hidup selibat sebagai biksu. (Thomas Peter/Reuters)

Nationalgeographic.co.id—Hidup selibat atau tidak kawin dan terus melajang adalah jalan yang dipilih oleh hanya sedikit orang. Alasan pilihan itu biasanya adalah terkait agama.

Para peneliti di University College London (UCL) penasaran pada dampak dari hidup selibat ini. Laporan studi mereka yang telah terbit di jurnal Royal Society Proceedings B baru-baru ini mengungkapkan hal menarik dan mengejutkan dari selibat agama seumur hidup di biara-biara Buddha Tibet.

Sampai saat ini, adalah hal biasa dan sudah menjadi tradisi bagi beberapa keluarga di Tibet untuk mengirim salah satu putra mereka yang masih kecil ke biara setempat untuk menjadi biksu selibat seumur hidup. Secara historis, hingga satu dari tujuh anak laki-laki menjadi biksu. Keluarga biasanya mengutip motif agama untuk memiliki seorang biksu dalam keluarga. Tetapi apakah pertimbangan ekonomi dan reproduksi juga terlibat?

"Dengan para para kolaborator kami dari Lanzhou University di Tiongkok, kami mewawancarai 530 rumah tangga di 21 desa di bagian timur dataran tinggi Tibet, di provinsi Gansu. Kami merekonstruksi silsilah keluarga, mengumpulkan informasi tentang sejarah keluarga setiap orang dan apakah ada anggota keluarga mereka yang menjadi biksu," tulis Ruth Mace, Profesor Antropologi di UCL, dan Alberto Micheletti, Rekan Peneliti di UCL, dalam sebuah artikel di The Conversation.

Desa-desa ini dihuni oleh orang-orang Tibet Amdo patriarkal yang memelihara ternak yak dan kambing, dan bertani di sebidang tanah kecil. Kekayaan mereka umumnya diturunkan dari garis laki-laki dalam komunitas ini.

"Kami menemukan bahwa para pria dengan saudara lelaki yang adalah seorang biksu lebih kaya, memiliki lebih banyak yak. Tetapi ada sedikit atau tidak ada manfaat bagi para saudara perempuan para biksu. Itu mungkin karena para saudara laki-laki bersaing memperebutkan sumber daya orang tua, tanah, dan ternak."

Karena para biksu tidak dapat memiliki properti, dengan mengirim salah satu putra mereka ke vihara, orang tua mengakhiri konflik persaudaraan ini. Anak laki-laki sulung umumnya mewarisi rumah tangga orang tua, sedangkan para biksu biasanya adalah anak laki-laki yang lahir kedua atau lebih baru.

"Anehnya, kami juga menemukan bahwa pria dengan saudara biksu memiliki lebih banyak anak daripada pria dengan saudara non-selibat; dan istri mereka cenderung memiliki anak pada usia lebih dini. Kakek-nenek dengan seorang putra biksu juga memiliki lebih banyak cucu, karena putra-putra mereka yang tidak selibat menghadapi persaingan yang lebih sedikit atau tidak sama sekali dengan saudara-saudara mereka."

"Oleh karena itu, praktik mengirim anak laki-laki ke vihara, jauh dari biaya mahal bagi orang tua, sejalan dengan kepentingan reproduksi orang tua," simpul para peneliti.

Temuan ini mengisyaratkan bahwa selibat dapat berkembang melalui seleksi alam. "Untuk mengetahui lebih lanjut tentang rincian bagaimana ini terjadi, kami membangun model matematika dari evolusi selibat, di mana kami mempelajari konsekuensi menjadi seorang biksu pada kebugaran evolusi seorang pria, saudara laki-lakinya dan anggota desa lainnya," tulis para peneliti.

"Kami memodelkan kedua kasus di mana keputusan untuk mengirim anak laki-laki ke kuil dibuat oleh orang tua, seperti yang terlihat dalam studi lapangan kami, dan di mana anak laki-laki membuat keputusannya sendiri."

Adanya biksu yang tetap lajang berarti ada lebih sedikit pria yang bersaing untuk menikah dengan wanita di desa. Meksi semua pria di desa mungkin mendapat manfaat jika salah satu dari mereka menjadi biksu, keputusan biksu itu tidak memajukan kebugaran genetiknya sendiri. Oleh karena itu, selibat seharusnya tidak berkembang.