Nationalgeographic.co.id—Belum ada dalam buku-buku sejarah atau catatan ilmiah tentang nama Hadiwardoyo, seorang volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) yang menarik untuk dibaca kembali kisahnya.
Seorang survivor yang lahir dari keluarga bangsawan Jawa, namun hidupnya penuh dengan perjuangan. Hadiwardoyo merupakan kisah turun-temurun sebagai memori kolektif rakyat Madiun.
Saya telah menjumpai Rudy Wicaksono Herlambang, seorang dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret. Ia Merupakan cicitnya, yang membantu saya mengisahkan perjalanan hidup sosok Hadiwardoyo.
Disebutkan bahwa Hadiwardoyo diangkat sebagai volksraad di Madiun pada usia muda sekitar tahun 1940. "Beliau sangat mendengar ngenger e wong Mediun (permintaan tolongnya orang Madiun)," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia.
Saat pemerintah Belanda mulai menggencarkan pembangunan onderneming di Madiun, mereka membuat tanggul-tanggul untuk membelokkan irigasi ke lahan perkebunan Belanda.
"Tanggul-tanggul dibuat orang Belanda itu membuat orang Madiun takut, rakyat yo pasrah ndak dapat pasokan air ke ladang mereka, atau cuma sekadar mandi juga susah," tambahnya.
Keresahan ini, lantas sampai ke telinga Hadiwardoyo. Meski berstatus volksraad yang diangkat langsung oleh pemerintah kolonial, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai perwakilan rakyat dalam konstitusi Hindia Belanda.
Mendengar hal itu, Hadiwardoyo melancarkan upaya yang terbilang ekstrem. Ia menyeru kepada anak buahnya untuk menyiapkan sejumlah alat berat. Tujuannya? Jelas, menghancurkan tanggul-tanggul yang dibangun pemerintah kolonial.
Bukan tanpa alasan, Sosrowardoyo (ayah dari Hadiwardoyo) juga merupakan orang yang cukup tegas menentang kemungkaran. Wajar bila hal itu tertanam dalam batin seorang Hadiwardoyo.
Setelah hancurnya tanggul-tanggul Belanda itu, irigasi mulai masuk ke pedalaman rakyat, mengairi ladang-ladang mereka yang kering, atau memudahkan akses sanitasi.
Nahas, nasib mujur tak berpihak pada Hadiwardoyo. Di tahun-tahun itu pula, ia diasingkan ke Boven Digoel, Papua. "Sebuah tempat pengasingan yang jadi sekolah bagi para tokoh-tokoh penting bangsa ini," tulis Susanto T. Handoko.
Susanto menulis dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha berjudul Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua yang terbit pada tahun 2016.
Memang, sangat sulit untuk bisa terbebas dan melarikan diri dari tempat pengasingan ini. Namun, berkat kecerdikannya, dengan sebuah perahu nelayan seadanya, Hadiwardoyo berhasil kabur.
Ia melarikan diri tak tentu arah. Terombang-ambing di laut lepas tanpa tujuan sampai akhirnya terdampar. Keajaiban bisa mengarungi lautan luas sampai ke Australia dengan bekal makan seadanya yang didapat sejak dari Boven Digoel.
"Lama, berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan, ia bisa sampai ke Australia," terusnya. Saat terdampar di Australia, Hadiwardoyo ditawan oleh pemerintah setempat di sana.
Ia diberi hidangan oleh orang-orang Eropa yang berkoloni di sana. "Eyang buyut (Hadiwardoyo) diuji orang Eropa pakai hidangan dinner, apakah beliau dari kalangan bangsawan atau orang biasa," terus Rudy.
Hadiwardoyo yang memiliki istri seorang Belanda, terbiasa dengan hidangan rijsttafel. Dengan cara makan bangsawan, orang-orang Eropa dibuat segan. Mereka menyadari bahwa Hadiwardoyo bukan orang sembarangan, ia seorang aristokrat Jawa.
Dengan rasa hormatnya, orang-orang Eropa itu membawa Hadiwardoyo kembali ke Jawa. Ia lantas bersembunyi dari pengawasan pemerintah Kolonial Belanda tatkala sampai di Madiun kembali pada 1942.
Tak lama berselang, Jepang yang menduduki Jawa telah menghapuskan Hadiwardoyo dari rekam jejak buruk pemerintah kolonial Belanda. Ia lantas aktif dalam Partai Murba sejak 1948.