Demi Pengetahuan Sains, Para Dewasa Muda Ini Rela Terkena Virus Corona

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 30 Juni 2022 | 10:00 WIB
Ilustrasi vaksinasi COVID-19. Ada banyak para peserta dewasa muda untuk berpartisipasi untuk terpapar virus corona. Alasannya: demi sains! (KitzD66/Pixabay)

Secara etika medis, penelitian semacam itu tidak begitu kontroversial. Akan tetapi, masalahnya, ilmuwan lain memandang penggunaan virus dosis rendah dan menargetkan demografi yang rentan untuk studi COVID-19 yang menantang pada manusia tidak bisa dibenarkan.

Pasalnya, pada awal 2021, saat percobaan awal dibentuk, terapi penyelamatan yang andal tidak tersedia. Inilah yang menjadi kontroversi dalam persidangan etis untuk dilakukan.

Di satu sisi, eksperimen serupa bisa saja diterapkan pada hewan. Sayangnya, penggunaan hewan akan memiliki hasil yang tidak akurat untuk mencerminkan respons manusia terhadap penyakit atau perawatan. Keuntungan uji coba pada manusia bisa mendapat gambaran tentang elemen sistem kekebalan yang dapat mencegah seseorang terinfeksi atau perkembangan gejala setelah terpapar virus.

   

Baca Juga: Dua Tahun Pagebluk, Virus Corona dan Evolusinya yang Belum Berakhir

Baca Juga: Vaksin Baru Covid 19 dari Austria Bisa Melawan Semua Varian SARS-CoV-2

Baca Juga: Rekor Suram Pecah, AS Laporkan Satu Juta Kasus COVID-19 per Hari

Baca Juga: Rekor Terlama, Seorang Pasien Terinfeksi COVID-19 hingga 1,5 Tahun

    

“Dengan studi tantangan, Anda dapat melakukannya karena Anda bisa mendapatkan sampel [darah, jaringan, pernapasan] sebelum infeksi dan terus mengambil sampel setelah infeksi,” kata Kathleen Neuzil, ahli vaksin di University of Maryland. Ketika pasien tetap diamati di lingkungan rumah sakit yang terkendali, di sini akan aman dari penyebaran dan membuat para ilmuwan bisa mengidentifikasi infeksi tanpa gejala.

Ketika studi ini disetujui di Inggris, Neuzil juga memikirkan membuka kemungkinan membuat uji coba pemahaman COVID dengan peserta muda yang sehat di AS.

“Studi semacam itu mungkin mengarah pada wawasan ilmiah tentang proses penyakit yang akan sulit diperoleh melalui studi observasional karena waktu yang tepat dari infeksi diketahui,” kata Dan Barouch, seorang ahli imunologi dan virologi di Harvard Medical School yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Bagaimanapun, Barouch berpendapat, studi semacam ini bukan pengganti uji klinis skala besar. "Sebuah studi tentangan manusia, menurut definisi, adalah populasi kecil yang sangat dipilih, hampir pasti orang muda dan sehat. Itu tidak akan menangkap luas dan keragaman spesies manusia," terangnya.