Nationalgeographic.co.id—Histori perjalanan haji orang-orang Indonesia telah dimulai sejak berabad-abad lalu. Sejak wilayah ini masih dijajah dan disebut sebagai Nusantara.
Pada masa kolonial terutama ketika Nusantara dikuasai perseroan milik Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kehidupan penduduk Nusantara mengalami keterpurukan dan penindasan. Dalam hal perekonomian, semuanya dimonopoli oleh perusahaan milik Belanda tersebut.
Muhammad Irfai Muslim dalam makalah studinya yang berjudul "Historiografi Manajemen Haji di Indonesia: Dinamika dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan", menulis bahwa tekanan dari penjajahan Belanda tersebut menimbulkan pergolakan di kalangan kaum pribumi untuk melawan. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan Belanda yang menguasai nusantara dalam hal pembatasan perjalanan Haji ke Makah.
Irfai Muslim mengutip hasil penelitian terdahulu dari Moh. Rosyid (2017) yang menyebut bahwa praktik perjalanan haji masyarakat muslim Indonesia sudah dimulai pada abad ke-16. Namun sepulangnya jemaah haji Indonesia ke bumi Nusantara, semangat nasionalisme para jemaah semakin meningkat, sehingga pada saat itu pemerintah kolonial membuat aturan-aturan yang memperketat proses perjalanan haji ke Mekkah dan Madinah.
"Dengan dalih perlawanan tersebut, pihak penjajah dalam hal ini pemerintah Belanda membuat aturan birokrasi yang cukup rumit. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemantauan jemaah yang akan berangkat ke Mekkah dan juga tatkala kembali ke tanah air," tulis Irfai Muslim.
Kekhawatiran Belanda terhadap para calon jemaah haji bukan tanpa alasan. Pemerintah kolonial Belanda membatasi calon jemaah haji yang hendak berangkat ke Mekkah bertujuan untuk mengendalikan perlawanan pribumi ketika sekembali dari ibadah haji.
"Alasan lain pemerintah kolonial mengawasi secara ketat calon jemaah haji adalah mereka mengkhawatirkan bahwa ibadah haji bukan hanya kegiatan bersifat ritual an sich, namun mereka menganggap bahwa kepulangan jemaah haji dari Mekkah membawa sebuah semangat perlawanan kepada pemerintah kolonial," tulis Irfai Muslim.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, regulasi tentang perhajian sengaja tidak dikelola dengan baik. Menurut Zainal (2012), pemerintah Hindia Belanda membiarkan pengelolaan haji dalam keadaan serba kekurangan dalam hal pelayanan juga ketertiban.
Tujuannya agar masyarakat Nusantara enggan untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pemerintah Hindia-Belanda juga menjadikan pengelolaan haji sebagai sumber pendapatan pemerintahan kolonial.
Pembatasan perjalanan haji oleh pemerintah kolonial Belanda ini juga dicatat oleh Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam bukunya yang berjudul Nusantara: Sejarah Indonesia. Bernard mencatat bahwa Perang Jawa pada tahun 1825 yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah memberikan trauma kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pangeran Jawa yang taat kepada Islam itu menyerukan konsep jihad dan mengobarkan semangat perang melawan Belanda. "Jihad yang dikomandoi Diponegoro itu merupakan gerakan yang paling berbahaya dan paling masif yang pernah dihadapi Belanda di Jawa, dan mungkin juga di seluruh Nusantara," tulis Luthfi Assyaukanie dalam pengantar buku Vlekke tersebut.
Peristiwa pemberontakan atau jihad yang kemudian dikenal sebagai Perang Jawa ini berakhir pada tahun 1930 dengan ditangkapnya sang pengobar jihad, yang kemudian dibuang ke Minahasa. Vlekke mencatat, "... hampir 15.000 serdadu pemerintah gugur, di antaranya 8.000 orang Eropa. Jumlah orang Jawa yang mati akibat perang, oleh penyakit dan kelaparan selain oleh pedang, diperkirakan 200.000."