Edukasi Seksual dari Tradisi Pergowokan di Jawa Awal Abad ke-20

By Galih Pranata, Senin, 4 Juli 2022 | 08:00 WIB
Ilustrasi sosok gowok dalam cover Nyai Gowok (2014) karya Budi Sardjono. (Budi Sardjono/Nyai Gowok)

Hanya saja dalam maharnya, akan ditambah dengan sejumlah bebungah atau hadiah berupa uang atau apapun sesuai kesepakatan antara pihak keluarga dengan sang guru edukasi seksual.

Pasca kesepakatan dibangun, pihak keluarga menghantarkan sang calon mempelai laki-laki ke rumah pergowokan. Ia akan diajari tentang kehidupan berumah tangga, seperti bagaimana cara memperlakukan istri dengan baik, bagaimana mengajak istri menghadiri hajatan dan sebagainya.

Selama proses gowokan, mereka tinggal hanya berdua dengan dapur yang terpisah. Hal itu dilakukan sebab mereka memang melakukan aktivitas seperti layaknya pasangan suami istri dalam sebuah keluarga yang membutuhkan dapur.

Satu hal yang menarik menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan seorang laki-laki remaja yang akan menikah agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru.

Cuplikan dalam film (Sang Penari/Hotstar)

Ajaran tentang sex education atau edukasi seksual akan menjadi tradisi yang tak lewas dari pergowokan. Suatu pelajaran yang tidak akan pernah didapatkan seorang anak laki-laki dari sekolah maupun dari orang tuanya.

"Orang belanda mengganggap gowok itu tradisi hina, cuma dipertahankan oleh kaum priyayi," sebut Ahmad Rushanfichry dari perantauan membacanya seputar gowok kepada National Geographic Indonesia.

Terlepas dari itu, ada juga roman yang menyebut seorang calon pengantin laki-laki yang malah tergoda dan jatuh hati kepada gowoknya, sehingga menjadi aib bagi keluarganya.

Meskipun menuai kontroversi sejak lama, setelah menguatnya budaya dan ajaran Islam di Banyumas, tradisi ini perlahan meluntur dan hilang ditelan zaman. Kisah tradisi ini hanya meninggalkan jejak sejarah hari ini.