Nationalgeographic.co.id—Prestasi orang Sparta di medan pertempuran membuat mereka menjadi negara kota paling tangguh di dalam sejarah kuno. Sparta memiliki kode etik dan tradisi yang dipegang teguh oleh warganya. Meski tangguh dan disegani, ternyata tidak mudah jadi orang Sparta. Serangkaian aturan serta tradisi yang harus dipatuhi ternyata membuat sebagian warganya mengalami kesulitan.
Kebugaran dan kesempurnaan fisik harus dimiliki sejak lahir
Pembunuhan bayi adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan norma, bahkan di dunia kuno. Tetapi di Sparta praktik ini diatur dan dikelola oleh petinggi di Sparta. Semua bayi Sparta dibawa ke hadapan dewan inspektur dan diperiksa apakah terdapat cacat fisik. “Bayi yang tidak memenuhi standar dibiarkan mati,” ungkap Evan Andrews di laman History.
Sejarawan kuno Plutarch mengeklaim bayi Spartan yang ‘terlahir sakit’ ini dilemparkan ke jurang Gunung Taygetus. Namun hal ini dianggap mitos oleh sebagian besar sejarawan di zaman modern. Jika bayi dinilai tidak layak untuk tugas masa depan sebagai prajurit, kemungkinan besar ditinggalkan di lereng bukit terdekat. Dibiarkan sendirian, bayi itu akan mati karena sakit atau diselamatkan dan diadopsi oleh orang asing.
Berhasil lolos dari pemeriksaan bukan berarti hidup akan menjadi mudah bagi bayi-bayi mungil Sparta. Mereka juga sering diabaikan ketika menangis. Anak kecil diperintahkan untuk tidak pernah takut akan kegelapan atau kesendirian.
Menurut Plutarch, teknik pengasuhan ‘cinta yang kuat’ ini sangat dikagumi oleh orang asing. Maka tidak heran jika wanita Sparta banyak diminati karena mampu merawat dan mengasuh anak.
Program pendidikan ala militer diikuti oleh anak sejak kecil
Pada usia 7 tahun, anak laki-laki Sparta keluar dari rumah orang tua mereka dan memulai agoge. Ini adalah rejimen pelatihan yang disponsori negara. Latihan ini dirancang untuk membentuk anak laki-laki menjadi pejuang yang terampil dan warga negara yang bermoral.
Terpisah dari keluarga dan ditempatkan di barak-barak komunal, para prajurit muda mengikuti latihan perang. Mereka belajar bersembunyi, berburu dan atletik. Pada usia 12 tahun, mereka dipaksa untuk tidur di luar dan membuat tempat tidur dari alang-alang. Seakan masih belum cukup keras, anak muda itu hanya diberikan jubah merah, tanpa pakaian yang memadai.
Untuk persiapan menghadapi kehidupan di medan perang, mereka didorong untuk mengais-ngais dan bahkan mencuri makanan. Di sisi lain, jika ketahuan mencuri, mereka akan diberi hukuman cambuk.
Tidak hanya anak laki saja yang menjalani kehidupan keras ini. Para wanita diharapkan untuk melahirkan anak. Gadis Sparta tinggal bersama orang tua, namun mereka juga menjalani pendidikan dan pelatihan ketat.
Anak perempuan berlatih menari, senam dan lempar lembing dan cakram. “Semua latihan ini dapat membuat mereka kuat secara fisik untuk menjadi seorang ibu,” tambah Andrews.
Perpeloncoan dan perkelahian diperbolehkan
Untuk menguatkan dan mendorong perkembangan pejuang muda sebagai tentara, mereka sering dipancing untuk bertengkar. Agoge dirancang untuk membantu membuat para pemuda tahan terhadap kesulitan seperti dingin, lapar dan sakit. Anak laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda pengecut atau takut menjadi sasaran ejekan dan kekerasan oleh rekan-rekan dan atasannya. Anak penakut itu pun dipelonco.
Perpeloncoan ini bahkan diikuti oleh gadis-gadis Sparta. Misalnya, dalam upacara tertentu, para gadis akan memilih peserta pelatihan untuk diejek dan dipermalukan. Tujuannya adalah agar para anak muda itu terdorong untuk meningkatkan kinerja.
Membatasi jatah makan dengan sengaja
Ketika seorang pria Sparta menyelesaikan fase utama agoge pada sekitar usia 21, dia terpilih menjadi syssitia.
Untuk mempersiapkan tentara menghadapi ketegangan perang dan mencegah kebugaran yang buruk, mereka makan makanan hambar. Tidak cuma hambar, jumlahnya pun terbatas.
Orang Sparta tergila-gila akan kebugaran fisik dan diet yang tepat. Maka tidak heran jika mereka membenci warga yang memiliki kelebihan berat badan. Biasanya, warga itu akan diejek di depan umum dan berisiko diusir dari Sparta.
Anggur adalah minuman utama orang Sparta, tetapi mereka jarang minum secara berlebihan. Anak-anak pun sering diperingatkan agar tidak mabuk. Untuk memberi contoh efek mabuk, seringkali helot (budak) dipaksa untuk meminum anggur dalam jumlah banyak supaya mabuk.
Semua pria Sparta diharapkan menjadi tentara seumur hidup.
Betapapun melelahkannya sistem pendidikan militer Sparta, kehidupan prajurit adalah satu-satunya pilihan bagi para pemuda. Menurut dekrit anggota parlemen, warga pria secara hukum dilarang memilih pekerjaan apa pun selain militer. Komitmen ini dapat bertahan selama beberapa dekade, karena prajurit diharuskan untuk tetap bertugas hingga usia 60 tahun.
Saking asiknya berperang, bidang manufaktur dan pertanian diserahkan kepada warga kelas bawah. Buruh, pedagang, dan perajin terampil adalah bagian dari Perioeci. Ini adalah kalangan non-warga negara bebas yang tinggal di wilayah sekitar Laconia.
Sementara itu, pertanian dan produksi makanan jatuh ke tangan Helot yang diperbudak. "Kalangan budak yang merupakan mayoritas penduduk Sparta," Andrews juga menambahkan. Ironisnya, ketakutan terhadap pemberontakan Helot jadi alasan utama bagi elit Sparta untuk memperkuat militernya.
Pria Spartan tidak diizinkan untuk tinggal bersama istri mereka sampai usia 30 tahun.
Warga tidak dicegah untuk jatuh cinta, namun pernikahan dan pengasuhan anak harus turut pada aturan aneh.
Negara menyarankan agar pria menikah pada usia 30 tahun dan wanita pada usia 20 tahun. Ini karena semua pria wajib tinggal di barak militer sampai usia 30 tahun. Pasangan yang sudah menikah lebih awal dipaksa untuk hidup terpisah sampai sang Suami menyelesaikan tugas wajib militernya.
Pernikahan dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan tentara baru. Jadi, kesehatan dan kebugaran harus diperhatikan sebelum pernikahan terjadi.
Mirisnya, suami yang mandul diharapkan untuk mencari penggantinya agar sang istri bisa memiliki keturunan.
Pemuda Sparta dipukuli dan dicambuk secara ritual
Salah satu praktik Sparta yang paling brutal adalah kontes ketahanan. Dalam kontes ini, remaja dicambuk di depan altar di tempat kudus Artemis Orthia. Tidak jarang mereka mati kesakitan.
Dikenal sebagai diamastigosis, praktik tahunan ini awalnya digunakan sebagai ritual keagamaan. Selain itu juga merupakan ujian keberanian dan ketahanan anak laki-laki terhadap rasa sakit.
Seiring berjalannya waktu, ritual ini kemudian berubah menjadi olahraga berdarah, terutama ketika Sparta mengalami kemunduran. Saat berada di bawah kendali Romawi, praktik ini dilakukan di amfiteater, disaksikan penonton yang bersorak kegirangan.
Menyerah dalam pertempuran adalah aib terbesar orang Sparta
Prajurit Spartan diharapkan untuk bertarung tanpa rasa takut sampai titik darah penghabisan. Menyerah dipandang sebagai tindakan pengecut. Maka para pejuang yang secara sukarela meletakkan senjata akan sangat malu. Tidak sedikit yang memutuskan untuk bunuh diri karena menyerah saat bertarung.
Sejarawan kuno Herodotus mengungkapkan kisah dua tentara Sparta yang tertinggal dalam Pertempuran Thermopylae. Dengan malu, mereka kembali ke tanah air. Satu kemudian gantung diri, dan yang lainnya mati saat berkelahi.
Jika seorang prajurit Sparta tewas dalam pertempuran, ia dianggap telah menyelesaikan tugasnya sebagai warga negara. Bahkan undang-undang mengatur orang yang boleh mencantumkan namanya di batu nisan. “Wanita yang meninggal saat melahirkan dan pria yang gugur dalam pertempuran,” imbuh Andrews.