Dunia Hewan: Beberapa Hewan Berevolusi untuk Mengorbankan Diri Mereka

By Warsono, Selasa, 12 Juli 2022 | 16:00 WIB
Muskox jantan beradu kepala di Alaska Wildlife Conservation Center si Anchorage. Banteng memperebutkan akses ke betina selama musim kawin. Evolusi pada dunia hewan membantu populasi, bukan individu. (DESIGN PICS INC, NATGEO COLLECTIVE)

Nationalgeographic.co.id—Dari adu kepala muskox hingga pengorbanan diri lebah, evolusi pada dunia hewan membantu populasi, bukan individu.

Muskox jantan beratnya dapat mencapai lebih dari 360 kilogram dan menyerbu dengan kecepatan lebih dari 48 kilometer per jam. Selama musim kawin, hewan berbulu kasar ini, raksasa Lingkar Arktika menabrakan diri ke satu sama lain di muka dan kemudian menusuk lawannya dengan tanduk besarnya yang tajam.

Apalagi, selama 10–12 tahun masa hidupnya, seekor muskox jantan mungkin mengumpulkan sesuatu seperti 2.100 benturan ke kepalanya.

Semua itu menimbulkan pertanyaan, bagaimana muskox selamat dari serangan gencar tanpa mengubah otaknya menjadi bubur?

“Orang-orang seringnya hanya berasumsi bahwa hewan yang beradu kepala, seperti muskox dan domba bertanduk besar, entah bagaimana kebal dari cedera kepala,” kata Nicole Ackermans, ahli saraf di Icahn School of Medicine di Mount Sinai di New York. “Sepertinya mereka memiliki tanduk ajaib, atau sesuatu.”

Namun saat Ackermans mulai membaca seluruh literatur ilmiah, dia menemukan bahwa tak ada satu pun studi apakah herbivora Amerika Utara menderita kerusakan otak dari gaya hidup membenturkan kepalanya. "Jadi dia dan koleganya mendapatkan otak muskox dan domba bertanduk besar dari gabungan ekspedisi lapangan, sumbangan dari pemburu untuk mata pencaharian, dan kawanan di riset penangkaran," tulis Jason Bittel di laman National Geographic dalam artikel yang berjudul "Why some animals evolved to sacrifice themselves"

“Kami menemukan pola yang spesifik di semua spesimen kami yang tampak sangat mirip dengan trauma otak kronis dini pada manusia,” kata Ackermans, yang memimpin makalah tentang penemuan terbaru ini, diterbitkan di jurnal Acta Neuropatholgica.

Riset baru bisa jadi penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari cedera otak pada manusia, kata Ackermans, karena bovidae (hewan seperti muskox dan domba) telah berlipat, kerutan otaknya lebih mirip dengan kita dibanding tikus, yang otaknya halus.

Itu juga bukti bahwa evolusi dapat membawa spesies ke jalan yang secara mengejutkan menghancurkan diri sendiri. Dan dalam hal ini, muskox tidak sendirian.

Jangan sampai mati

Untuk risetnya, Ackeemans dan koleganya mewarnai otak tiga muskox dan empat domba bertanduk besar dengan biomarker. Bahan kimia ini dapat membuat jelas pola cedera otak traumatis yang biasanya dihubungkan dengan kondisi manusia, seperti penyakit Alzheimer dan chronic traumatic encephalopathy—cedera kepala berulang—atau CTE. Pada kasus ini, ilmuwan secara spesifik mencari sesuatu yang dikenal sebagai protein tau.

“Ketika saraf Anda rusak, apakah itu melalui penuaan, masalah genetik, atau dampak mekanis, mereka terkoyak, dan protein ini rusak dan membentuk gumpalan,” jelas Ackermans. “Dan jika Anda melihat mereka dalam pola yang spesifik, begitulah cara Anda mengatakan apakah itu hanya otak yang normal, atau menua, atau Alzheimer, atau kemungkinan trauma.”

Sayangnya, metode biomarker tidak dapat bekerja dengan baik pada otak domba bertanduk besar, meski mereka menunjukkan tanda-tanda pembentukan tau. Otak muskox, bagaimana juga, menyala dengan tau seperti pohon natal.

Kesan pertama, itu mungkin tidak masuk akal bahwa perilaku alami, seperti mengadu kepala, dapat sangat berbahaya. Namun yang terpenting ini adalah permainan panjang, kata Ackermans.

“Setiap tahun, muskox akan beradu kepala berkali-kali, tetapi jika mereka bereproduksi dengan sukses bahkan hanya sekali, hanya itu yang Anda butuhkan,” katanya. “Hal yang mendorong, secara evolusioner, adalah hanya jangan sampai mati.”

Itu mungkin yang membantu muskox jantan hidup kurang dari 15 tahun dan betinanya 15 sampai 3 tahun, ucapnya. Jadi bahkan jika protein tau dibangun sepanjang hidup hewan, mereka mungkin tidak pernah menumpuk ke satu titik tempat mereka dapat menyebabkan kondisi seperti Alheimer atau dementia lainnya.

“Hidup mereka tidak serumit itu,” tutur Ackermans. “Jadi mungkin sekali, mereka hanya bertahan hidup selama mungkin untuk melakukan apa yang mereka perlu lakukan.”

Dan bahkan jika mereka mengembangkan kondisi itu, siapa yang tahu? “Tidak ada skala perilaku bagi muskox. Jadi kita tidak dapat berkata bahwa mereka tidak merasa sedikit pelupa,” ucapnya.

Selanjutnya, Ackermans ingin mempelajari berbagai spesies burung pelatuk untuk melihat apakah mereka menunjukkan trauma otak dari perilaku membenturkan kepala mereka. Satu-satunya studi lain untuk melihat otak burung menemukan beberapa bukti dari tau, tetapi “itu tidak benar-benar dalam pola yang spesifik,” katanya.

Perkawinan sampai mati

Dalam beberapa hal, muskox menarik sebanding dengan marsupial tertentu, kata Diana Fischer, ahli ekologi mamalia di University of Queensland School of Biological Sciences di Australia.

Kecil dan karnivora, antechinus adalah genus asli daratan Australia dan Tasmania. Pada tahun-tahun belakangan, mereka telah menjadi berita utama untuk cara pejantan mempraktikan semelparity—satu ledakan dari keluaran reproduksi, diikuti dengan kematian yang terprogram. Betina antechinus dapat hidup dua atau tiga tahun atau lebih. Namun jantannya jarang bertahan lebih lama dari 11 bulan.

“Mereka memiliki musim kawin yang sangat dahsyat,” kata Fischer. Periode pemuliaan dapat bertahan 12 sampai 14 jam, dan setelah itu setiap jantan akan mencoba untuk mengawini sebanyak mungkin betina lain semampunya—yang menyebabkan kematiannya.

“Kolagen di kulitnya hancur, ususnya hancur, dan mereka mengalami pendarahan dalam,” ucap Fischer. “Mereka menjadi sangat rentan terhadap parasit dan penyakit, sistem imun mereka gagal.” Dalam beberapa minggu mereka akan mati.

“Ini sangat tidak biasa bagi mamalia,” tutur Fischer, yang cenderung bertahan hidup cukup lama untuk mengalami beberapa musim kawin.

Reproduksi bunuh diri lebih umum di serangga, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan araknida: Saat hewan asli Australia lainnya, laba-laba punggung merah, kawin, pejantan akan menempatkan diri mereka ke dalam mulut betinanya.

“Itu menghalangi betina dari perkawinan lebih lanjut,” kata Fischer, “karena dia sibuk makan.”

Serangga yang menghancurkan diri sendiri

Dalam jumlah besar, koloni serangga sosial, mempunyai dinamika yang serupa tetapi sedikit berbeda.

Saat lebah madu eropa menyengat penyerang berkulit lunak, seperti beruang, lebah mati saat sengatnya bersarang di kulit korbannya. Semut malaysia akan merobek perutnya menjadi dua ketika mempertahankan sarangnya dari penyerang. Dan di beberapa spesies rayap, pekerja yang lebih tua dapat mengubah diri mereka sendiri menjadi pengebom bunuh diri.

Namun bagaimana membunuh diri sendiri masuk akal, secara evolusioner?

“Mudah,” kata Thomas Seeley, biolog di Cornell University dan penulis buku The Lives of Bees, melalui surel. “Pekerja mencapai keberhasilan genetis (evolusioner) bukan dengan mereproduksi diri mereka sendiri, tetapi membantu ibu mereka, ratu koloni, melakukannya.”

“Salah satu bentuk bantuan ini adalah pertahanan koloni,” jelasnya

“Beberapa peneliti menyebutnya ‘super organisme’,” kata Alice Laciny, entomolog yang bekerja pada semut malaysia di Natural History Museum Vienna, melalui surel. “Jadi koloni semut atau sarang lebah lebih mirip satu hewan besar, dengan sang ratu yang mewakili organ reproduksi. Pekerja minor yang berjumlah banyak dan hanya perlu sedikit sumber daya untuk membesarkannya, jadi mereka mirip dengan sel tubuh dalam beberapa hal.”

Seperti muskox, apa yang kita lihat sebagai kekerasan, perilaku yang menghancurkan diri sendiri oleh semut pekerja tampak sepadan dengan harganya, selama itu membawa ke reproduksi.

“Pada sistem ini, melindungi ratu dan saudara perempuannya, jika perlu bahkan dengan mengorbankan diri sendiri, adalah cara semut pekerja dapat melindungi dan mewarisi gennya,” kata Laciny.

Pengorbanan terakhir sang ibu

Bentuk lain dari pengorbanan diri di kerajaan hewan adalah sejauh mana sang ibu akan memberikan kesempatan berjuang pada anak mereka.

Setelah kelahiran mereka, beberapa spesies amfibi tak berkaki yang dikenal sebagai caecilian benar-benar memakan kulit lapisan atas ibu mereka sebagai makanan pertama. Dan laba-laba sosial afrika selangkah lebih jauh, dengan beberapa betina membiarkan anak mereka mempraktikan matripaghy—atau membunuh dan memakan ibu mereka sendiri.

Gurita pasifik utara mungkin adalah ibu yang rela berkorban. Betinanya dapat menjaga telur-telur mereka selama empat tahun yang luar biasa—selama masa itu mereka bahkan tidak makan.

“Tak bisa dihindarkan, betina akan menghabiskan seluruh cadangan tubuh mereka dan mati ketika menjaga telur,” kata Fischer.

“Anda merasa kasihan pada mereka, tetapi begitu banyak spesies berhasil mendapat keturunan yang terbaik di generasi selanjutnya.”