Ragam Flora Indonesia-3: Drama Tumbuhan dalam Napas Baru Seni Rupa Kini

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 10 Juli 2022 | 07:00 WIB
'Grow in A Line' karya Prima Milawati, cat air pada kertas. Cabai jawa (Piper retrofractum Vahl) merupakan rempah yang digunakan untuk pengobatan kolik, demam dan menggigil, batuk dan pilek, serta sumber pewarna alam. Rasanya pedas dan tajam aromatis. (Prima Milawati/IDSBA)

Nationalgeographic.co.id—“Indonesia dan semua kekayaan hayatinya telah dikagumi dunia sejak zaman penjelajahan bangsa Eropa ke Hindia Timur pada abad ke-16,” kata Grace Syiariel, Ketua Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA). Kendati banyak puspa asal Nusantara yang telah diteliti dan dipamerkan, imbuhnya, banyak spesies endemik kita yang masih menanti dalam antrean untuk disingkap dunia sains.

Sejumlah 37 seniman botani asal Indonesia dan mancanegara memamerkan karya seni mereka yang bertaut mesra dengan sains di Galeri Nasional Indonesia. Mereka berada dalam naungan Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA)—komunitas seniman botani Indonesia. Kita bisa menyaksikan pesona kejaiban 58 lukisan botani tumbuhan endemik Nusantara dalam pameran bertajuk Ragam Flora Indonesia 3; Botanical Art: Evoking The Beauty Science yang digelar sejak 8 Juli hingga 8 Agustus 2022. Hampir semua karya dihasilkan selama pandemi.

Ragam puspa memang telah lazim menjadi objek karya lukis para maestro di Indonesia—dari Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, dan Basuki Abdullah—demikian ungkap Pustanto dalam sambutannya selaku Kepala Galeri Nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. “Namun, tampak sangat berbeda ketika kita melihat lukisan tetumbuhan yang dihasilkan dari seni botani.”

Menurutnya, pameran ini merupakan arsip ilmiah estetik sehingga para pemirsanya mendapatkan informasi pengetahuan sekaligus keindahan dari jarak yang sangat dekat. Di samping itu pameran karya seni botani ini menampilkan tingkat kerumitan yang dihadapi senimannya. Artinya, untuk mencapai karya yang paripurna, sang seniman perlu memiliki daya tangkap yang baik terhadap objek yang dilukis.

'Ratu Anggrek' dengan nama ilmiah Phalaenopsis bellina (Rchb.f.) Christenson karya Karyono Apic, cat air pada kertas. Sebutan populernya, anggrek bintang. Biasanya tumbuh di kanopi pohon sehingga bisa mendapatkan sinar matahari berlimpah. (Karyono Apic/IDSBA)

“Karena itu kolaborasi Galeri Nasional Indonesia serta ketertarikan publik terhadap pameran ini menjadi sebuah bentuk apresiasi yang tinggi bagi pelukis-pelukis botani," kata Pustanto, "atas upaya, kerja keras, ketekunan, kesabaran, serta kecintaannya kepada seni lukis ini.”

"Pameran ini menjadi bagian penting dalam khazanah seni rupa di Indonesia yang akan mengubah perspektif kita dalam memandang relasi koeksistensial antarmakhluk hidup,” ungkap Sudjud Dartanto, kurator Galeri Nasional Indonesia. “Wajah seni rupa yang umumnya kental dengan wajah ‘manusia-sentrisnya’, kali ini digeser dengan tumbuhan sebagai subjek representasi."

Kebangkitan kembali seni botani hari ini seolah menjadi napas baru dunia seni rupa Indonesia. Menurutnya, seni botani menjadi sebuah titik temu komunikasi yang memungkinkan  terjadinya sambung rasa antara ilmu estetika dan sains. Sejatinya khazanah seni botani ini dapat menjawab kebutuhan kita dalam menghasilkan pengetahuan melalui praktik seni, dan praktik seni yang menghasilkan pengetahuan. “Keduanya itu bertemali erat, saling membangkitkan dan dibuktikan melalui karya-karya luar biasa dari para seniman botani dalam pameran ini." 

'I hope my seeds will grow after you cut my branches and left me bleed, foolishly' karya Ananda Firman Syarif, cat air pada kertas. Tanaman pala hutan atau pala laki-laki (Myristica fatua Houtt). (Ananda Firman Syarif/IDSBA)

Kita bisa menyebutnya “kebangkitan kembali” karena sejatinya seni botani modern pernah mewarnai dunia seni rupa kita sejak abad ke-17, seperti laporan Rumphius tentang jejamuan asal Ambon. Bahkan karya seni ini semakin bermanfaat dalam sains ketika Era Pencerahan di Eropa menjangkiti peneliti-peneliti di Hindia Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

“Terlebih di masa lampau saat akses teknologi kamera masih sangat terbatas,” kata Destario Metusala, botaniwan dan peneliti pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Bahkan, saat teknologi kamera masa kini yang sudah sangat mumpuni sekalipun, untuk beberapa kasus, ilustrasi botani masih sangat diandalkan.”

Namun, jauh sebelum peneliti-peneliti Eropa menyelisik ragam puspa Hindia Belanda, sejatinya nenek moyang kita telah merekam tetumbuhan khas Nusantara secara terperinci bentuk fisik dan morfologinya pada relief-relief candi. "Kalau kita menuangkan seninya lewat kertas, nenek moyang kita lewat batu andesit. Tantangannya jadi lebih sulit. Jadi tidak boleh ada kesalahan di sana. Kalau salah arus dibongkar," ungkapnya.