Ilmuwan Menemukan Petunjuk Mengapa Depresi Pada Wanita Sulit Diobati

By Ricky Jenihansen, Senin, 18 Juli 2022 | 15:00 WIB
Depresi pada wanita sulit diobati (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Meskipun ada perawatan untuk depresi, tapi terkadang itu tidak berhasil bagi banyak orang, terutama wanita. Mereka juga mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi dari pria, namun penyebabnya tidak diketahui. Membuat penyakit mereka terkadang lebih rumit untuk diobati.

Sekarang, sebuah penelitian baru menemukan petunjuk mengapa depresi pada wanita lebih sulit dan rumit diobati. Penelitian dari University of California, Davis ini bekerja sama dengan para ilmuwan Mt. Sinai Hospital, Princeton University, dan Laval University, Quebec.

Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan dalam Biological Psychiatry dengan judul "Comparative transcriptional analyses in the nucleus accumbens identifies RGS2 as a key mediator of depression-related behavior."

Untuk diketahui, analisis sebelumnya dalam nukleus accumbens menunjukkan bahwa gen yang berbeda dihidupkan atau dimatikan pada wanita. Nukleus accumbens adalah pusat saraf yang berperan besar dalam melepas dopamine, yang mengatur mood seseorang.

Nucleus accumbens penting untuk motivasi, respons terhadap pengalaman yang bermanfaat dan interaksi sosial, yang semuanya dipengaruhi oleh depresi.

Tapi itu tidak ditemukan pada pria yang didiagnosis dengan depresi. Perubahan ini bisa menyebabkan gejala depresi, atau sebaliknya. Pengalaman depresi bisa mengubah otak, menjadi petunjuk mengapa antidepresan tidak berhasil bagi beberapa wanita.

Untuk membedakan antara kemungkinan ini, para peneliti mempelajari tikus yang telah mengalami interaksi sosial negatif. Yang menginduksi perilaku terkait depresi yang lebih kuat pada wanita daripada pria.

"Analisis ini sangat informatif untuk memahami efek stres jangka panjang pada otak," kata Alexia Williams, seorang peneliti doktoral dan lulusan UC Davis baru-baru ini yang merancang dan memimpin studi ini.

"Dalam model hewan pengerat kami, interaksi sosial negatif mengubah pola ekspresi gen pada tikus betina yang mencerminkan pola yang diamati pada wanita dengan depresi."

Ini menarik, katanya, karena wanita kurang dipelajari di bidang ini. "Dan temuan ini memungkinkan saya untuk memusatkan perhatian saya pada relevansi data ini untuk kesehatan wanita."

Setelah mengidentifikasi perubahan molekul serupa di otak tikus dan manusia, peneliti memilih satu gen, pengatur sinyal protein g-2 atau Rgs2 untuk dimanipulasi. Gen ini mengontrol ekspresi protein yang mengatur reseptor neurotransmitter yang ditargetkan oleh obat antidepresan seperti Prozac dan Zoloft.

Ilustrasi Depresi (Unsplash)

"Pada manusia, versi protein yang kurang stabil dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi, jadi kami penasaran untuk melihat apakah peningkatan gen ini dalam nukleus accumbens dapat mengurangi perilaku terkait depresi," kata Brian Trainor, profesor psikologi di UC Davis.

Trainor adalah penulis senior dalam penelitian ini. Dia juga anggota fakultas yang berafiliasi dengan Center for Neuroscience dan mengarahkan Lab Neuroendokrinologi Perilaku di UC Davis.

Ketika para peneliti secara eksperimental meningkatkan protein Rgs2 dalam nukleus accumbens tikus, mereka secara efektif membalikkan efek stres pada tikus betina. Mereka mencatat bahwa pendekatan sosial dan preferensi untuk makanan yang disukai meningkat ke tingkat yang diamati pada betina yang tidak mengalami stres.

   

Baca Juga: Ada Terapi Musik untuk Kesehatan, Bagaimana dengan 'Terapi Piknik'?

Baca Juga: Daripada Sendirian, Tidur Bersama Lebih Baik Untuk Kesehatan Mental

Baca Juga: Probiotik Dapat Mendukung Antidepresan dan Meringankan Depresi

Baca Juga: Terapi Mental Hippokrates Lewat Media Musik yang Menyembuhkan

    

"Hasil ini menyoroti mekanisme molekuler yang berkontribusi pada kurangnya motivasi yang sering diamati pada pasien depresi. Penurunan fungsi protein seperti Rgs2 dapat berkontribusi pada gejala yang sulit diobati pada mereka yang berjuang dengan penyakit mental," kata Williams.

Temuan dari studi sains dasar seperti ini dapat memandu pengembangan farmakoterapi untuk mengobati individu yang menderita depresi secara efektif, kata para peneliti.

"Harapan kami adalah dengan melakukan penelitian seperti ini, yang fokus pada penjelasan mekanisme gejala spesifik penyakit mental kompleks," kata Williaws.

"Kami akan membawa sains selangkah lebih dekat untuk mengembangkan perawatan baru bagi mereka yang membutuhkan."

   

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo