Pelajaran Perjalanan: Pelajaran Alam dan Masyarakat Banyuwangi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 22 September 2022 | 09:00 WIB
Ekspedisi Pelajaran Perjalanan kali ini tiba di Banyuwangi dengan menyambangi Kopai Osing. Tempat ini melibatkan masyarakat adat Osing Kemiren untuk mengelola kopi. Kali ini Didi Kaspi Kasim dan Marshall Sastra terlibat dalam menyangkrai kopi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Potensi kopi di Banyuwangi itu ada. Yang mengelola mereka adalah identitasnya dengan alam yang bersatu untuk menciptakan cita rasa kopi," kata Iwan. "Ada banyak brand (di Banyuwangi) dan salah satunya Kopai Osing. Saya hanya mewakili kopi di Banyuwangi. Kopi ini relatif bisa dicicipi orang, tetapi kopi yang enak itu ada jejak kesan dan ceritanya."

Keterlibatan masyarakat Kemiren dalam pengolahan kopi terletak pada proses sangrai, penyeduhan, dan bisnisnya. Iwan ingin masyarakat di sini juga melek bisnis, khususnya di dunia kopi, demi kesejahteraan mereka.

"Ada cerita di balik kopi. Setiap daerah itu kopinya unik," lanjutnya. "Harusnya diangkat juga kopi-kopi yang lain dengan cerita-cerita mereka."

Selanjutnya, Didi dan Marshall singgah di Pantai Watu Dodol. Dari sana, pesisir barat Pulau Bali begitu tampak di seberang selat. Sekilas, pantai ini biasa saja dengan bangunan yang di atasnya ada patung penari gandrung di pinggir jalan, dan batu besar yang memisahkan dua jalan utama Banyuwangi-Situbondo.

Namun, di kawasan inilah tersimpan keajaiban alam dan nilai sejarahnya. Wisata yang jadi tempat peristirahatan tepi jalan ini memiliki sumur air tawar di pesisir air asin. Air tawarnya tetap terjaga meski air laut sedang pasang dan masuk ke dalamnya.

Didi dan Marshall singgah beristirahat di Pantai Watudodol dalam ekspedisi Pelajaran Perjalanan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Sumur air tawar ini adalah sumber mata air. Masyarakat setempat percaya bahwa airnya punya khasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Sumber air tawar ini masih asri dan sering dipakai oleh masyarakat setempat.

Tak jauh dari patung tari gandrung, terdapat pula situs Gua Jepang yang pernah digunakan sebagai bunker masa Perang Dunia II. Pada masa kekuasaan Jepang, bunker ini berfungsi untuk memantau kapal yang melintasi Selat Bali.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke De Djawatan Forest di Kabupaten Banyuwangi. Ruang terbuka hijau ini berbeda dari yang lain karena dipenuhi pohon trembesi. Ada sekitar ratusan pohon trembesi yang usianya lebih dari 100 tahun.

Menurut pengelola De Djawatan Forest ada dua versi terkait sejarah De Djawatan. Versi pertama mengatakan bahwa pada masa kolonialisme Belanda, tempat ini adalah tempat penyimpanan senjata. Sementara versi kedua mengatakan sebagai tempat penimbunan kayu.

Toyota Rush yang membawa Didi Kaspi Kasim dan Marshall Sastra melaju di medan jalan rusak di De Djawatan Forest, Kabupaten Banyuwangi dalam Pelajaran Perjalanan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Di sinilah Didi dan Marshall merefleksikan perjalanan mereka yang sudah dilalui. "Di Pelajaran Perjalanan ini yang bisa saya bedain dengan perjalanan sebelumnya, kali ini mendapatkan pelajaran baru yang selama ini enggak kepikiran—apalagi ini jalannya bersama Mas Didi yang sudah kemana-mana," kata Marshall. "Sekarang dapat insight tentang yang ada di dalam perjalanan."

"Di setiap perjalanan membawa kita bertemu dengan orang-orang baru, di mana orang-orang baru ini bisa mengajarkan kita menjadi pejalan yang lebih baik," lanjutnya. Didi menambahkan, "Pelajaran Perjalan yang kami lakukan adalah tempat mengembangkan pemahaman baru."