Enhydriodon omoensis, Berang-berang Seukuran Singa dari Ethiopia

By Ricky Jenihansen, Selasa, 13 September 2022 | 14:00 WIB
Rekonstruksi Enhydriodon omoensis (di latar belakang), dibandingkan dengan tiga spesies saat ini, dari kiri ke kanan: berang-berang raksasa Amerika Selatan; berang-berang laut; dan berang-berang Afrika. Australopithecine dan manusia modern ditampilkan di sini untuk perbandingan ukuran. (Sabine Riffaut / Camille Grohé / Palevoprim / CNRS – Université de Poitiers.)

Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan telah mengidentifikasi spesies baru berang-berang yang telah lama punah di Ethiopia yang seukuran singa modern. Beratnya diperkirakan 200 kilogram, atau 440 pon, ini adalah berang-berang terbesar yang pernah dideskripsikan.

Para ahli paleontologi mendeskripsikan spesies baru ini termasuk genus berang-berang Enhydriodon yang telah punah. Mereka mendeskripsikan dari fosil gigi dan tulang yang ditemukan di Lembah Omo Bawah di Ethiopia.

Berang-berang ini mungkin bersaing mendapatkan makanan dengan nenek moyang kita, australopithecus yang jauh lebih kecil ketika hidup bersama mereka 3,5 juta hingga 2,5 juta tahun yang lalu. Deskripsi lengkap temuan tersebut telah diterbitkan di jurnal ilmiah Prancis, Comptes Rendus Palevol.

Makalah tersebut bisa diperoleh secara daring dengan judul "Lutrinae Bonaparte, 1838 (Carnivora, Mustelidae) from the Plio-Pleistocene of the Lower Omo Valley, southwestern Ethiopia: systematics and new insights into the paleoecology and paleobio­geography of the Turkana otters."

Beberapa spesies berang-berang raksasa diketahui telah menghuni Eurasia dan Afrika selama zaman Miosen, antara 6 dan 2 juta tahun yang lalu.

Di antaranya, genus Enhydriodon yang telah punah adalah yang paling dikenal karena sisa-sisanya. Meskipun terpisah-pisah, telah ditemukan di banyak tempat, terutama di Afrika bagian timur.

Spesies yang baru dideskripsikan ini memiliki berat sekitar 200 kg atau 440 pon, menjadikannya berang-berang terbesar yang pernah dideskripsikan. Ukurannya sekira singa modern, jauh lebih besar dari berang-berang modern yang diketahui saat ini.

Fosil-fosil itu ditemukan oleh beberapa tim ekskavasi internasional selama bertahun-tahun. Penulis studi baru, yang dipimpin oleh Camille Grohé dari University of Poitiers, mendasarkan perkiraan massa tubuh mereka pada dimensi gigi dan tulang paha hewan.

Sisa-sisa fosilnya, gigi dan tulang paha ditemukan di formasi Shungara dan Usno di Lembah Omo Bawah di barat daya Ethiopia.

Fosil gigi dan tulang ditemukan di Lembah Omo Bawah di Ethiopia. (Uno et al.)

"Hal yang aneh, selain ukurannya yang besar, adalah bahwa isotop di giginya menunjukkan bahwa itu bukan perairan, seperti semua berang-berang modern," kata Kevin Uno, ahli geokimia dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University.

"Kami menemukan bahwa ia memiliki pola makan hewan darat, juga berbeda dari berang-berang modern."

Secara tradisional, berang-berang Enhydriodon dianggap semi-akuatik, memakan moluska, kura-kura, buaya, dan lele, semuanya umum di lingkungan air tawar Afrika. Uno dan rekan menguji ide ini dengan menganalisis isotop stabil oksigen dan karbon di email gigi Enhydriodon omoensis.

Agaknya, nilai fosil berang-berang seharusnya mendekati nilai fosil kuda nil atau hewan semi-akuatik lainnya. Sebaliknya, Enhydriodon omoensis memiliki nilai yang mirip dengan mamalia darat, khususnya kucing besar dan hyena dari deposit fosil Omo.

Isotop karbon pada gigi dapat memberikan informasi tentang jenis mangsa yang dikonsumsi makhluk tersebut. Ini mengungkapkan bahwa Enhydriodon omoensis mampu berburu mangsa yang memakan berbagai macam tanaman darat, dari rumput tropis hingga vegetasi dari pohon.

Para penulis berencana untuk mengambil sampel fosil berang-berang Afrika secara lebih luas. Mereka ingin melakukan studi tentang email gigi dan bentuk serta struktur tulang untuk memahami tempat berang-berang raksasa tempati di ekosistem masa lalu, dan penyebab kepunahan mereka, sekitar 2 juta tahunyang lalu.

"Berang-berang Enhydriodon punah di Afrika sekitar transisi Plio-Pleistosen, bersama dengan banyak karnivora berukuran besar dan khusus secara ekologis," kata para penulis.

"Peristiwa kepunahan ini dapat dikaitkan dengan banyak perubahan geologis, iklim, dan biotik yang terjadi di celah Afrika timur selama periode ini, terutama serangan hominin awal ke dalam serikat karnivora."