Aksi Seru Bahas Bumi dan Netralitas Karbon: Anak Muda Bisa Apa?

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 24 September 2022 | 08:00 WIB
Tidak hanya orang tua, anak muda dilibatkan aktif dalam penanaman dan pelestarian lamun di Yensawai, Raja Ampat. (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Di seluruh dunia, polusi udara telah menyebabkan kematian 7 juta jiwa per tahun. Sudah pernahkah kita menghitung dan menghilangkan polusi hasil aktivitas kita sendiri?

Nanda Arisdinan Noor, Manager Sustainable Business & Corporate Engagement World Resources Institute (WRI) Indonesia, menyampaikan bahwa ternyata setiap penduduk Indonesia rata-rata menghasilkan emisi sebesar 2,09 ton karbon dioksida per tahunnya.

Nanda menyarakan kita untuk memakai aplikasi EMISI untuk menghitung emisi yang kita hasilkan dari setiap aktivitas harian kita. Dalam aplikasi tersebut kita juga bisa menghitung berapa pohon yang perlu kita tanam untuk menyerap emisi kita.

Ada gambaran perhitungan yang bisa membantu kita menentukan dari aktivitas manakah kita bisa mengurangi keluaran emisi kita. Ada pula menu yang bisa membantu kita untuk menanam pohon lewat komunitas/organisasi yang tersedia. 

“Kurangi emisi dahulu sebisa mungkin, sebelum menyerapnya,” tegas Nanda dalam acara "Obrolan Online Ecozoomers: Aksi Seru Bahas Bumi dan Netralitas Karbon" pada Sabtu pekan lalu. Cara mengurangi emisi adalah dengan reduce, reuse, dan recycle.

Reduce artinya mengurangi pembuangan sampah maupun hal lain yang menimbulkan emisi seperti penggunaan kendaraan bermotor. Reuse adalah menggunakan kembali barang lain ketimbang membuangnya seperti baju bekas, buku bekas, dan barang bekas lainnya. Recycle adalah mendaur ulang sampah seperti kaleng, kertas, dan plastik untuk dijadikan produk yang bisa digunakan kembali.

Secara sederhana, bila mau menghitung tanpa bantuan aplikasi, jumlah emisi harian kita dapat dihitung dengan parameter angka berikut. Emisi harian per orang per kilometer per kilogram per kWh adalah 85 sampai 245 gram karbon dioksida dan polusi lain, tergantung pola konsumsi kita. Adapun besar serapan emisi per pohon per tahun adalah 50 sampai 150 kilogram karbon dioksida, tergantung pola pertumbuhan pohon tersebut.

Dari kedua angka itu kita bisa membandingkan berapa jumlah pohon yang perlu kita tanam untuk menyerap emisi kita. “Itulah prinsip dasar dari netratlitas karbon,” ujar Nanda.

Kita berharap bahwa semua emisi yang kita hasilkan bisa terserap sepenuhnya oleh bumi sehingga tidak menumpuk di atmosfer. Sebab, emisi karbon yang menumpuk di atmosfer bisa menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Cuaca ekstrem dan makin banyaknya bencana alam adalah dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi. Kita tentu ingin mencegah laju perubahan iklim ini demi bumi yang lebih lestari dan kehidupan yang lebih aman dan nyaman bagi umat manusia di planet ini.

Nanda juga menuturkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar untuk usaha dan ekonomi global di 2020. “Pada 2020 banyak riset mengatakan, dari 10 ancaman terbesar di dunia, delapannya berhubungan dengan iklim dan lingkungan,” kata Nanda. Jadi, perubahan iklim jelas berdampak pula pada sektor ekonomi manusia.

Baca Juga: Dimulai dari Tapak, Kunci Membangun Ketahanan terhadap Krisis Iklim

Baca Juga: Dampak Covid-19 dan Persepsi Negatif Opini Publik Terhadap Aksi Iklim

Baca Juga: Wahai Anak Muda, Indonesia Menanti Langkahmu untuk Netralitas Karbon

Menurut data yang dikutip Nanda, populasi Indonesia adalah 270 juta, populasi usia muda 151 juta, dan populasi yang terekspos teknologi 113 juta. Lebih lanjut, populasi yang mengetahui isu iklim adalah 78 juta dan populasi yang berencana bertindak dalam aksi iklim adalah 7,5 juta.

Setidaknya ada empat hal yang bisa kita lakukan dalam aksi iklim, sebagaimana yang dipaparkan Nanda. Pertama, kurangi emisimu dengan menerapkan gaya hidup rendah karbon, seperti hemat listrik, bepergian secukupnya, dan konsumsi lebih banyak sayur ketimbang daging. Kedua, serap emisimu dengan mengikuti berbagai program penyerapan karbon seperti penanaman dan perawatan pohon.

Ketiga, sampaikan masukanmu terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan metode perhitungan emisi agar semakin bermanfaat. Keempat, bagikan ceritamu dengan sebanyak mungkin anak muda Indonesia lain di keluarga, komunitas, dan organisasimu, maupun sekolah-sekolah lain.

Nanda berharap, jutaan anak muda di Indonesia bakal bergabung dengan aksi iklim sehingga bisa memulihkan jutaan hektare hutan serta mempertahankan mata pencaharian bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, juga sepakat dengan Nanda bahwa peran anak muda sangat penting. Menurutnya, setiap tahunnya kita membutuhkan inovasi-inovasi dari anak muda untuk menjadi solusi atas permasalahan lingkungan.

Lebih lanjut, Didi juga menyampaikan bahwa kita bisa mengidentitaskan diri kita sebagai ecozoomers, tidak hanya dibatasi oleh label milenial, gen Z, gen X, gen Y, dan sebagainya yang hanya beradasarkan rentang usia. Ecozoomers yang dimaksud Didi merupakan sebutan untuk generasi muda yang memiliki gagasan inovatif dalam menciptakan hal berguna bagi bumi, agar terciptanya lingkungan yang lebih baik.

"Sebuah generasi yang memang berorientasi pada lingkungan,” tegas Didi.

“Kita semua harus bergerak satu arah untuk lebih memfokuskan diri kepada hal-hal yang berujung baik, menyambut nanti Indonesia Net Zero Emission 2030. Karena memang, kalau tidak ada perubahan signifikan dari perilaku, saya pikir kita lupa membayar balik kepada bumi, karena bumi sudah memberikan kita segalanya. Kita enggak punya planet cadangan. Kita cuma punya planet ini sampai sekarang. Hari ini kita hanya punya satu planet tempat kita tinggal dan planet ini sudah memberikan begitu banyak kepada kita.”

Didi juga menegaskan, “Perubahan apa pun yang kita lakukan hari ini pasti akan berdampak pada lanskap planet ini di masa depan. Kita harus memastikan bahwa di masa depan planet ini masih bisa sustain. Generasi masa depan masih bisa menikmati hutan tropis kita, satwa-satwa di hutan kita. Semua orang berhak atas udara yang lebih bersih, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih sehat.”

Widyawati Soedigdo, Project Executive General Manager Coordinator PT Toyota Astra Motor, juga sepakat dengan Didi. “Kita tidak mau berpuas diri dengan label milenial, gen zen, dan lain-lain. Tapi kita perlu menjadi generasi generasi yang peduli lingkungan,” tegasnya.