Nationalgeographic.co.id—Hari Batik Nasional yang dirayakan setiap 2 Oktober, memicu hasrat saya untuk menengok kembali koleksi batik di almari. Di antara tumpukan kain batik yang hampir semuanya dari Jawa, terselip selembar kain Batik Tanah Liek. Dibuat dengan teknik cap berwarna gelap dari pesisir barat Pulau Sumatra, Padang. Koleksi ini mengingatkan kita bahwa batik tak hanya ada di Jawa. Saya membuka lipatannya dan menggelar ingatan tentang riwayatnya.
Seperti pembuatan batik pada umumnya, batik khas Minangkabau ini juga menggunakan lilin untuk merintangi kain, kemudian diberi warna. Akan tetapi, yang unik dan tidak dijumpai di daerah lain adalah penggunaan tanah liat yang dicampur air untuk merendam kain sebelum dicanting atau dicap sehingga namanya Batik Tanah Liek. Tahap merendam ini menghasilkan warna dasar kain yang gelap seperti tanah.
Tradisi membuat batik dengan tanah liat sempat menghilang cukup lama. Hampir tujuh puluh tahun dilenyapkan zaman, hingga pada tahun 90-an, Wirda Hanim memunculkannya kembali. Pada waktu itu, perempuan ini gigih dalam bereksperimen dengan kain, tanah liat dan bahan-bahan pewarna alami. Sampai akhirnya ia menemukan formula yang pas untuk membuat Batik Tanah Liek. Batik ini seperti mendapatkan nyawa untuk hidup kembali lalu menjadi kain khas Minangkabau. Selanjutnya ia tak sendiri, banyak perajin yang tumbuh di Sumatra Barat dan memperkaya khazanah batik Nusantara.
Di atas permukaannya yang cenderung gelap, bertebaran motif-motif cerah dari pewarna sintetis dan pewarna alam untuk motif-motif dengan rona redup. Bahan-bahan pewarna alami diperoleh dari pengetahuan turun-temurun yang masih diterapkan untuk meronai kain. Antara lain, rebusan jengkol dan kulit manggis untuk mendapatkan warna ungu, kulit alpukat dan kulit bawang merah menghasilkan warna coklat, dan gambir untuk warna oranye, serta warna kuning diperoleh dari rimpang kunyit.
Beragam motif dikembangkan dari yang tradisional maupun kreasi baru. Motif-motif tradisional umumnya merupakan transformasi bentuk-bentuk dari alam sekitarnya. Hal ini merupakan manifestasi dari salah satu aforisme yang diyakini oleh masyarakat Minangkabau yaitu alam takambang jadi guru. Diterjemahkan secara bebas, berarti "alam merupakan bentang ilmu tempat manusia berguru".
Motif-motif yang terinspirasi dari alam berupa transformasi bentuk hewan dan tumbuhan ini tak hanya divisualkan dalam batik, tetapi juga pada ukir-ukiran ornamen dinding pada rumah Gadang. Masyarakat Minangkabau biasa mengukir dinding, tiang, dan siling rumah bermaterial kayu dengan perlambang adat-istiadatnya.
Alih bentuknya bisa berupa simplifikasi menjadi bentuk-bentuk yang sederhana dan juga distorsi atau stilisasi, terutama untuk motif-motif hewan. Hal ini seturut dengan ajaran agama Islam yang tidak menganjurkan membuat visual makhluk bernyawa seperti hewan dan manusia. Seperti misalnya motif itiak pulang patang (itik pulang petang), kuciang lalok (kucing tidur), ruso balari (rusa berlari), ayam jantan, ayam balatiang (ayam bertarung), sakikek ikan dalam aie (ikan dalam air), dan garundang mandi (berudu dalam air).
Seperti juga pada ukiran ornamen di dinding rumah khas Minangkabau, motif floral juga sangat meruah di Batik tanah Liek, berupa sulur daun dan bunga-bunga. Di antaranya kaluak paku (lekukan daun paku atau pakis), aka basaua (akar-akaran), kabek daun kacang (ikat daun kacang), dan sitampuak manggih (setumpuk buah manggis). Saat ini sejumlah 42 motif batik Minangkabau telah dipatenkan di Kementerian Hukum dan HAM RI oleh Profesor Herwandi, Guru Besar bidang Arkeologi Universitas Andalas (Unand) Padang. Tak hanya motif kuno yang dipatenkan, terdapat pula motif-motif kreasi baru yang diciptakan belakangan, misalnya motif jam gadang dan rumah gadang.
Selain mematenkan motif-motifnya, Herwandi juga melakukan serangkaian penelitian terkait sejarah Batik Minangkabau. Menurutnya, terdapat lima pembabakan waktu yang penting untuk mengetahui dinamika perjalanan Batik Tanah Liek.
Periode pertama adalah pada masa Kerajaan Dharmasraya di abad ke-13 Masehi. Diduga pada waktu itu kain bermotif batik telah dikenal sejak Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari mengirimkan arca Amoghapasa sebagai perwujudan dari Awalokiteswara atau Bodhisatwa welas asih. Arca Buddhis dari batu andesit yang pada lapiknya terdapat prasasti berasal dari 1286 Masehi. Arca itu menampilkan figur yang mengenakan kain bermotif. Tak jauh dari tempat penemuan arca itu, terdapat pula pecahan gerabah dengan motif bunga yang senada.
Periode kedua adalah era Kerajaan Pagaruyung pada abad ke-16 ketika batik menjadi komoditi yang banyak diproduksi dan diperdagangkan di pusat kerajaan. Selanjutnya di periode ketiga, yaitu zaman Belanda berkuasa. Pada saat itu wilayah Sumatera Barat mengalami blokade perdagangan. Sehingga jual-beli batik terhenti.