Mengapa Belanda Mencegah Bahasanya Menjadi Bahasa Internasional

By Galih Pranata, Kamis, 6 Oktober 2022 | 10:22 WIB
Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan, Jawa Tengah sekitar tahun 1899. Mengajarkan bahasa Belanda kepada anak-anak Eropa dan anak-anak elit lokal. (The Low Countries)

Nationalgeographic.co.id—Hari ini, hampir tidak pernah—bahkan jarang sama sekali—bahasa Belanda terdengar di antara masyarakat Indonesia modern. Barangkali goresan sejarah bisa menjawab teka-teki hilangnya bahasa Belanda dari bumi Nusantara.

"Saya menemukan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di mana bahasa bekas penjajah tidak lagi digunakan," tulis Joss Wibisono kepada The Low Countries dalam artikel berjudul Why Indonesia Never Really Became Dutch, but Is Now Becoming Anglicised yang terbit pada 6 Oktober 2020.

Ketika bahasa Indonesia masih disebut bahasa Melayu, bahasa tersebut hidup berdampingan secara damai dengan bahasa daerah dan bahasa Belanda—ketika masih disebut Hindia Belanda. Wibisono lantas menjelaskan pengalamannya berbahasa.

"Kakek-nenek saya berbicara bahasa Belanda satu sama lain, karena mereka pernah bersekolah di sekolah Belanda, dan mereka mengajari saya berbicara dan menulis bahasa tersebut," imbuh Wibisono.

Kata-kata pertama yang dikenal Joss Wibisono mungkin bukan bahasa Jawa tetapi bahasa Belanda. Ia belajar bahasa Jawa di jalanan dan kemudian diajarkan di sekolah, bersama dengan bahasa Indonesia.

Joss menambahkan: "Generasi saya dan guru-guru saya hampir tidak bisa berbahasa Belanda lagi. Hanya sekelompok kecil Indo ras campuran, yang memilih untuk tetap tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan, masih berbicara bahasa Belanda."

Kemudian, ketika ia kuliah di sebuah universitas di Salatiga di Jawa Tengah, pada tahun 1980, Wibisono dapat terus berbicara bahasa Belanda dengan orang Indo dan dosen-dosen dari Belanda.

Meskipun demikian, dari hematnya ia mengungkap bahwa jumlah orang Indonesia yang masih bisa berbahasa Belanda menurun dengan cepat, sementara penggunaan bahasa Inggris meningkat secara substansial.

Menurunnya tingkat penggunaan bahasa Belanda juga dapat terjadi karena fanatisme historis bangsa. "Saya awalnya percaya bahwa nasionalisme Indonesia telah mengusir segala sesuatu yang mengingatkan kita pada (penjajahan) Belanda," terusnya.

Asumsi itu muncul lantaran adanya Soempah Pemoeda yang lahir di tahun-tahun pergerakan pada 1928. "Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia" menguatkan asumsinya tentang hilangnya bahasa Belanda dari kebiasaan pemuda bumiputra.

Namun, Wibisono menangkis asumsinya setelah membaca Buiten het gareel pada tahun 1940, karya Soewarsih Djojopoespito. Pendek kata, ikrar pemuda bukanlah penjelasan konklusif atas hilangnya segala aspek Belanda dari Indonesia.

Jawaban yang mungkin lebih tepat adalah adanya perhitungan keuntungan pendidikan dalam mengajarkan bahasa di sekolah-sekolah Belanda di Jawa. Konon, lebih murah mengajarkan pegawai bahasa Melayu, cikal bakal bahasa Indonesia, daripada mengajar penduduk dengan bahasa Belanda.