Beda Praktik Perkawinan Sedarah di Era Yunani Kuno dan Romawi Kuno

By Utomo Priyambodo, Selasa, 25 Oktober 2022 | 16:00 WIB
Perkawinan sedarah atau inses dipandang sebagai tabu sosial yang utama oleh orang Romawi. (Lawrence Alma-Tadema)

Adapun di era Romawi, tidak jarang ada paman yang menikahi keponakan perempuannya. Praktik ini bahkah dilegalkan atau disahkan setelah Kaisar Claudius menikahi Agripina, putri saudara laki-lakinya.

Meski inses tidak dilarang oleh hukum, dan bahkan diperbolehkan dalam beberapa kasus, ini tidak berarti bahwa itu dipraktikkan secara luas atau dapat diterima secara sosial. Secara umum, pernikahan di dunia kuno dipandang sebagai urusan pribadi antara dua keluarga, dan sering digunakan untuk bernegosiasi, menjalin aliansi, dan mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, negara tidak ikut campur secara langsung dalam urusan perkawinan.

Selain itu, tidak terlalu membantu untuk mengandalkan undang-undang resmi sebagai panduan untuk persepsi kuno tentang inses. Sebab, stigma sosial yang melingkupi inses sudah cukup untuk mencegah siapa pun mempublikasikan perkawinan sedarah mereka.

Meskipun tidak dapat disangkal ada minat yang besar terhadap gagasan inses dalam budaya Yunani dan Romawi, serta bukti bahwa hal itu dapat, dalam beberapa kasus, dipraktikkan secara legal, persepsi keseluruhan tentang hubungan seks saudara kandung tetaplah negatif.

Hubungan seksual antara orang tua dan anak dikutuk secara luas. Ini adalah sikap yang dicontohkan oleh kisah tragedi Oedipus, dan tuduhan inses seringkali cukup untuk merusak reputasi seseorang.

Meskipun tidak menyadari masalah genetik yang sering terjadi akibat inses, orang-orang dahulu juga sudah memiliki firasat bahwa keturunan dari dua kerabat kemungkinan besar akan lahir dengan berbagai kelemahan. Untuk alasan ini, Socrates mengutuk hubungan antara orang tua dan anak, meskipun ia mengutip perbedaan usia yang tak terhindarkan sebagai penyebab utama kekhawatirannya.

Bahkan jikapun inses tidak dilarang oleh hukum tertulis, orang-orang dahulu berpendapat bahwa inses dilarang oleh hukum para dewa yang tak terucapkan. Plato, misalnya, berpendapat bahwa seorang ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan yang sangat cantik akan dilindungi dari nafsu anak laki-laki, saudara laki-laki, atau ayah mereka oleh 'hukum tidak tertulis'. Dengan beberapa pengecualian penting, inses dianggap sangat salah sehingga negara bahkan tidak perlu membuat undang-undang yang menentangnya.