Zat dalam Mumi Mesir Ini Diyakini Bisa Menyembuhkan Penyakit

By Utomo Priyambodo, Senin, 7 November 2022 | 13:41 WIB
Kegilaan terhadap mumi Mesir. (Album, The Print Collector via National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Hingga saat ini mumi masih menjadi daya tarik yang besar bagi orang-orang untuk mengunjungi Mesir. Kini para sarjana modern, termasuk pada ilmuwan Eropa, memperlakukan mumi-mumi Mesir kuno dengan hormat dan perhatian besar. Namun dulu tidak demikian, orang-orang Eropa justru mengambil dan mencuri mumi-mumi dari Mesir dan membawanya ke Eropa untuk kepentingan komersial yang mengerikan.

Beberapa abad yang lalu, mumi Mesir lebih cenderung digunakan oleh orang-orang Eropa untuk tujuan praktis daripada tujuan akademis. Tubuh mumi-mumi Mesir diperlakukan sebagai komoditas karena diyakini memiliki khasiat medis, supranatural, dan fisik.

Mulai abad ke-15, para pedagang mencari keuntungan dari perdagangan mumi. Mereka membawanya dari Mesir ke Eropa, dan “perdagangan mumi” yang kuat tumbuh di sekitar mereka.

Mumi sendiri adalah jasad orang Mesir kuno yang telah menjalani mumifikasi. Ini adalah proses yang kompleks dan panjang untuk membantu mengawetkan tubuh si mendiang untuk perjalanannya di akhirat.

Meskipun proses mumifikasi berubah seiring waktu, banyak praktik intinya tetap sama. Setelah mengeluarkan organ-organ dalam tubuh, pemuka agama akan menggunakan natron, garam alami, untuk mengeringkannya.

Kadang-kadang zat yang harum, seperti mur, digunakan untuk mengurapi tubuh. Minyak dan resin akan dioleskan ke tubuh, yang kemudian akan diisi dengan kain linen atau serbuk gergaji sebelum disegel dan dibungkus dengan perban.

Para ahli mengalami kesulitan untuk menentukan dengan tepat bagaimana mumi digunakan untuk pengobatan. Ada bukti bahwa orang-orang Eropa percaya bahwa tubuh yang dibalsem itu mengandung kekuatan penyembuhan dari dunia lain. Para sarjana lain melacak asal-usul hubungan itu dengan kesalahpahaman bahwa mumi mengandung bitumen atau aspal, zat yang telah lama dikaitkan dengan penyembuhan di dunia kuno.

Bitumen yang hitam, lengket, dan kental adalah bentuk minyak bumi yang ditemukan di daerah sekitar Laut Mati. Penulis abad pertama Masehi Plinius yang Tua dan Dioskorides, serta penulis abad kedua Masehi Galen, menulis tentang sifat penyembuhan bitumen. Dioskorides menggambarkan satu bentuk sebagai cairan dari Apollonia (Albania modern) yang dikenal, dalam bahasa Persia, sebagai mumiya. Menurut Plinius, ini bisa menyembuhkan luka dan berbagai penyakit.

National Geographic pernah mencatat bahwa para cendekiawan Eropa pada Abad Pertengahan mengaitkan bitumen dengan zat kehitaman yang ditemukan di makam Mesir. Seorang tabib abad ke-11, Constantinus Africanus, menulis bahwa mumiya "adalah rempah-rempah yang ditemukan di makam orang mati . . . Yang terbaik adalah yang hitam, berbau tidak enak, mengkilat, dan besar.”

Eropa mulai menghubungkan mumi dengan obat-obatan pada abad ke-15, sebagai tanggapan atas permintaan yang kuat akan mumi medis. Bitumen yang terbentuk secara alami jarang terjadi, jadi para pedagang yang giat pergi berburu di makam-makam Mesir untuk persediaan alternatif. Ketika digiling menjadi bubuk, tubuh yang diawetkan dan resin, minyak, dan zat aromatiknya tidak hanya memiliki konsistensi dan warna yang sama dengan mumiya Persia asli, tetapi juga berbau lebih baik.

Baca Juga: Sejarah Kelam Mumi Mesir di Eropa: Dibongkar, Dihancurkan dan Dimakan

Baca Juga: Kematian George Herbert: Apakah 'Kutukan Mumi' Mesir Kuno Itu Nyata?

Baca Juga: Penemuan Jasad Bangsawan Khuwy: Sejarah Mumi Mesir Perlu Ditulis Ulang 

Tidak selalu mudah untuk mendapatkan mumi, sehingga para pedagang Timur yang kurang teliti memutuskan untuk membuatnya sendiri. Namun para apoteker bisa melihat perbedaannya.

Guy de La Fontaine pada tahun 1564, setelah perjalanannya ke Alexandria untuk mendapatkan obat tersebut, pernah mengeluhkan hal ini. Dia menemukan masalah bahwa dalam banyak kasus, mumi-mumi yang ditawarkan adalah mayat modern yang diperlakukan menyerupai mumi kuno. Sebuah perbedaan kemudian ditarik antara mumiya primer atau benar dan mumiya sekunder atau palsu.

Proses mengubah manusia yang baru saja meninggal menjadi faksimili persuasif mumi Mesir kuno ini adalah proses yang tidak menyenangkan. Luis de Urreta, seorang biarawan Spanyol di Ordo Dominika, pernah menjelaskan kengerian ini dalam karya tulisnya yang berjudul Historia de los reynos de la Etiopía (Sejarah Kerajaan Etiopia) yang ia buat pada tahun 1610.

Biarawan tersebut memberikan penjelasan rinci tentang metode pembunuhan dan kejam untuk membuat mumi baru. Prosedurnya terdiri dari berulang kali membuat tawanan kelaparan dan memberinya "obat" khusus sebelum memenggal kepalanya saat dia tidur. Jenazah kemudian dikuras darahnya, diisi rempah-rempah, dibungkus jerami, dan dikubur selama 15 hari.

Setelah organ dan darahnya dikeluarkan dan diganti rempah-rempah, jasad tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari selama 24 jam. Pada akhir proses yang mengerikan ini, daging telah menjadi gelap dan berubah. Biarawan tersebut menggambarkannya sebagai tidak hanya lebih bersih dan lebih halus daripada mumi kuno tetapi juga lebih efektif.

Bagaimanapun, tidak semua orang memuji mumiya sebagai obat, terlepas dari apakah itu "benar" atau "salah." Pada awal tahun 1582, orang Prancis bernama Ambroise Paré menulis dalam Discours de la mumie, “efek obat jahat ini tidak hanya tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki pasien, seperti yang telah saya lihat sendiri dalam banyak kesempatan di antara mereka yang dipaksa meminumnya, tetapi juga menyebabkan mereka sakit perut yang parah, bau busuk di mulut, dan muntah yang hebat, yang merupakan sumber gangguan dalam darah...”

Pada masa yang tak masuk akal tersebut, Eropa telah diselimuti oleh era "kegilaan mumi". Apakah digiling sebagai obat ataupun dipajang di 'pesta-pesar terbuka', mumi-mumi Mesir telah membuat orang-orang Eropa tersebut, sehingga menimbulkan apa yang dikenal sebagai Egyptomania atau kegandrungan terhadap segala hal yang berbau Mesir kuno.