Nationalgeographic.co.id—Wabah tifus merajalela seiring bergantinya tahun. Sejak tahun 1911, wabah tifus mulai merambah ke daerah pedalaman di Cirebon. Kenyataannya, pola hidup kumuh dan higienitas rendah membuat wabah menjadi pesat.
Imas Emalia dalam jurnalnya menulis tentang Residen Hiljee yang melaporkan bahwa penyakit tifus "paling banyak melanda Kota Cirebon dan para dokter terus berkeliling melakukan perawatan."
Imas menulis kepada Jurnal Sejarah yang berjudul "Wabah Tifus di Cirebon Masa Hindia Belanda: Kebijakan Pemerintah dan Solusi Sehat Masyarakat" yang diterbitkan pada tahun 2020.
Dalam jurnalnya, ia melukiskan kekhawatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap dampak yang ditimbulkan karena persebaran tifus yang semakin masif. "Beberapa orang meninggal karena wabah itu," lapor Hiljee dalam tulisan Imas.
Pemerintah kolonial secara besar-besaran telah mengimbau rakyat Cirebon untuk menerapkan pola hidup sehat. Beberapa kebijakan diluncurkan demi mengurangi angka kematian akibat wabah tersebut.
Edukasi untuk hidup bersih yang sebelumnya belum pernah disampaikan kepada rakyat, kini mulai digalakkan pemerintah kolonial. Penyuluhan kesehatan menjadi syarat untuk menekan angka kematian karena tifus.
"Sampai pada tahun 1936, propaganda hidup bersih terus dilakukan para pembantu dokter pemerintah di berbagai poliklinik dan pos-pos pelayanan kesehatan," imbuh Imas.
Rakyat diminta mengonsumsi air bersih yang sudah matang, mengajarkan cara-cara menimbun sampah, cara mencuci tangan dengan sabun, cara menjaga kebersihal lingkungan rumahnya, dan tidak mengonsumsi makanan warung yang kurang higienis.
Dari Bataviaasch Nieuwsblaad edisi 29 Desember 1938 menyebutkan bahwa memang propaganda sudah berangsur-angsur dilakukan oleh pemerintah kolonial, namun tindakan pemerintah dinilai telat dan pelayanan kesehatannya kurang maksimal.
Maka dari itu, propaganda pemerintah dinilai tidak efektif karena wabah tifus sudah terlanjur menjalar ke berbagai aspek kehidupan masyarakat di Karesidenan Cirebon.
Begitupun dengan pelayanan rumah sakit yang masih mendiskriminasi pasien pribumi, beserta dengan mahalnya biaya pengobatan, membuat rakyat tidak bisa bertahan di rumah sakit hingga kondisinya membaik.
Masyarakat dinilai kecewa dengan pelayanan pemerintah kolonial yang kurang kooperatif dan telat menyikapi penyebaran wabah. Kebijakan pemerintah yang selanjutnya dilakukan, sudah tidak mempan untuk mendorong perubahan sikap masyarakat.
Rakyat kepalang kecewa dan tidak lagi memercayai mereka. Akibat hal itulah yang mendorong rakyat Cirebon untuk menempuh jalannya sendiri, menemukan cara keluar dari penderitaan akibat tifus.
Permasalahan-permasalahan itu yang akhirnya mendorong para pengidap penyakit untuk datang kepada kiai maupun dukun yang sekiranya dapat dibayar dengan harga miring, atau juga dengan hasil panen yang mereka miliki.
Adapun segelintir masyarakat yang memilih untuk mengurung diri di rumahnya karena tidak memiliki apapun yang ia gunakan untuk berobat. Cara lain rakyat untuk menyembuhkan penyakitnya adalah dengan meracik jamu atau minuman herbal.
Rakyat mulai membaca kitab-kitab klasik warisan nenek moyang mereka tentang "cara meracik ramuan herbal untuk menyebuhkan berbagai penyakit," pungkasnya. Cara ini agaknya lebih efektif untuk menurunkan angka penyebaran tifus di Cirebon.