Era Tutmania, Bagaimana Firaun Tutankhamun Menguasai Budaya Pop?

By Utomo Priyambodo, Senin, 21 November 2022 | 13:32 WIB
Topeng Pemakaman Raja Tut. (Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Dunia belum pernah melihat yang seperti ini. Pada akhir tahun 1922, arkeolog Inggris Howard Carter menemukan sebuah makam kerajaan di Lembah Para Raja Mesir. Makam ini tak tersentuh selama 3.300 tahun dan penuh dengan perhiasan berkilau yang menakjubkan mata.

Makam itu dihuni oleh seorang firaun remaja, Tutankhamun Nebkheperure. Sekarang firaun itu lebih dikenal sebagai Raja Tut.

Penemuan ini menjadi sensasi media seketika. Koran-koran terus memberitakan soal Raja Tut dan harta kekayaannya. Disebutkan topeng kematian emas padatnya yang berkilau "dengan ekspresi sedih tapi tenang," menurut Carter.

Ketika para arkeolog dengan hati-hati memindahkan dan membuat katalog isi makamnya yang disepuh emas, raja muda Mesir kuno yang telah meninggal pada usia 19 tahun itu kemudian "bangkit kembali" menjadi superstar penentu tren.

Howard Carter saat membuka makam Raja Tutankhamun pada awal abad ke-20. (Griffith Institute, University of Oxford/Colorized by Dynamichrome)

“Hanya ada satu topik pembicaraan, hanya satu subjek yang menjiwai pikiran semua orang,” tulis koresponden New York Times dari Luxor pada Februari 1923. “Nama Tut-ankh-Amen tidak bisa lepas dari mana pun. Nama itu diteriakkan di jalan-jalan, dibisikkan di hotel-hotel, sementara toko-toko lokal mengiklankan seni Tut-ankh-Amen, topi Tut-ankh-Amen, barang antik Tut-ankh-Amen, foto Tut-ankh-Amen, dan besok mungkin barang-barang antik Tut-ankh-Amen yang asli. Setiap hotel di Luxor hari ini memiliki sesuatu ala Tut-ankh-Amen.”

Ann R. Williams menulis untuk National Geographic bagaimana Raja Tut menguasai tren budaya bob. Bagiamana era Tutmania atau kegandungan terhadap segala sesuatu yang terkait dengan Raja Tut ini terjadi.

Baca Juga: Hasil Pemindaian Makam Raja Tut: Kamar-kamar yang Belum Terjamah

Baca Juga: Lima Fakta soal Raja Tut yang sejak Bocah sudah Jadi Firaun Mesir

Baca Juga: Bukti Kelainan Genetik Firaun Tutankhamun, Korban Perkawinan Sedarah 

"Fesyen dan sejarah Mesir kuno sepertinya bukan perpaduan alami, tetapi setelah penemuan Tut, keduanya bertabrakan secara langsung. Kain untuk gaun dan mantel menampilkan motif seperti pohon palem, bunga teratai, dan sphinx. Hieroglif imitasi melingkari gelang sarung tangan. Tas tangan, payung, dan kotak rokok terpengaruh oleh budaya Mesir," tulis Williams.

Topeng emas Raja Tutankhamun yang tersimpan di Egyptian Museum. (Carsten Frenzl/Wikimedia Commons)

Gadis-gadis mengenakan ikat kepala yang menampilkan ular kobra dan gelang ular yang melingkari lengan mereka. Bahkan ada topi yang dipengaruhi King Tut, gaun malam manik-manik dengan lengan yang dipotong dan pinggang yang terkulai, dan tongkat berjalan dengan kepala ibis.

Para produsen perhiasan kelas atas membuat perhiasan bertema Mesir, sering kali menggunakan motif dari perhiasan Tut. Cartier, pemasok barang-barang mewah Prancis untuk keluarga kerajaan modern, menghasilkan barang-barang yang mencakup bros mempesona dalam bentuk scarab bersayap, dengan berlian, safir, zamrud, dan onyx bertatahkan emas, dan jam ibu-ibu dengan mutiara berkilauan yang berbentuk seperti pintu gerbang ke kuil Mesir kuno.

Produk kecantikan juga mengikuti tren ini. Para produsen menghubungkan produk-produk mereka dengan para bangsawan eksotis Mesir. Para wanita melapisi mata mereka dengan eyeliner Kohl yang terinspirasi dari Nil. Bedak wajah dikemas dalam compact ala Mesir. Gaya rambut bob juga sangat populer, dipengaruhi oleh penampilan wanita Mesir kuno.

Penemuan Mesir juga menginspirasi para pemain, penulis, dan seniman, terkadang dengan cara yang aneh. Pada tahun 1920-an Pesulap Charles Joseph Carter, yang lebih dikenal dengan nama panggungnya "Carter the Great", berjanji untuk menyingkap "rahasia sphinx dan keajaiban makam Raja Tut tua ke dunia modern".

Penulis Richard Goyne menjadikan King Tut muda sebagai karakter utama bukunya tahun 1923 berjudul The Kiss of Pharaoh: The Love Story of Tut-Ankh-Amen. Berjuang menuju takhta, sang tokoh menghadapi banyak kendala, termasuk kebutuhan untuk menemukan pengantin kerajaan yang hilang.

Lagu "Old King Tut" masuk ke kancah suara pada tahun 1923, saat kelompok muda yang cerdas tergila-gila pada tarian baru yang populer bernama Charleston. “On the desert sand old King Tutty’s band / Played while maidens swayed,” bunyi lirik lagu riang itu.

Di dunia film, The Mummy, yang dibintangi oleh Boris Karloff pada tahun 1932, mengisahkan tentang seorang arkeolog, mumi terbungkus linen, dan sebuah kutukan. Ide plot cerita ini muncul dari serangkaian kematian aneh yang terjadi setelah penemuan makam Tut. Termasuk yang terjadi pada Lord Carnarvon, sponsor aristokrat penggalian, yang meninggal kurang dari lima bulan setelah penemuan besar itu.

Penemuan makam Raja Tut juga memberikan inspirasi baru bagi para arsitek yang terlatih dalam gaya dunia lama. Motif gaya Mesir perlahan menjadi mode dalam pengaturan arsitektur, terutama pintu lift di Gedung Chrysler di New York.

Pengaruh Raja Tut ini tidak memudar setelah kegembiraan awal. Pada tahun 1976, harta karunnya pergi ke Amerika Serikat untuk pameran enam kota yang disebut "Harta Karun Tutankhamun". Dia memecahkan rekor kehadiran museum, dengan orang-orang menunggu berjam-jam untuk masuk.

Pada akhirnya, delapan juta pengunjung melongo melihat ornamen-ornamen Raja Tut. Pameran tersebut juga berkeliling Inggris, Rusia, Ukraina, Kanada, dan Jerman. Dan dengan itu datanglah ere Tutmania lagi.